Halaman

Senin, 03 Mei 2010

KISAH CINTA DAN PENGORBANAN "MEREKA" Upaya Aktualisasi Dalam Kehidupan Modern

Mereka Adalah Ibrahim Dan Ismail
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”(QS. Asshaffat: 102 )
Secuil kisah dan diskusi pendek seorang ayah dengan anak semata wayangnya yang di abadikan dalam al-Quran. Sebuah pertanyaan sederhana namun lahir dari hati yang penuh cinta, lama memendam rindu dan mendambakan buah hati dari waktu ke waktu. Ya, buah hati yang diharapkan menjadi pelipur lara, penyejuk jiwa dan penerus perjuangan menggapai ridha-Nya. Dialah Ibrahim, sang khalil, kekasih Tuhan.


Akhirnya, Allah SWT. memberikan karunia-Nya kepada Ibrahim yaitu dengan lahirnya Ismail dari rahim istrinya. Ibrahim gembira, bahagia tiada tara dan dengan begitu, berarti mimpi indah itu kini benar-benar jadi kenyataan, permohonannya terkabulkan dan harapannya tak disia-siakan oleh Tuhan.
Ismail tumbuh sebagai anak yang cakap, cerdas, patuh dan saleh juga segudang kelebihan lain yang tak dimiliki anak sebayanya. Tapi siapa sangka setelah dia mencapai usia yang sangat menyenangkan, Tuhan memerintahkan Ibrahim menyembelihnya, Ismail, seorang anak yang sekian lama didambakan.
Sejenak, mari kita berpikir dan merenung “ Bagaimana seandainya kita berada di pihak Ibrahim ketika itu”. Siapkah kita mengerjakan perintah-Nya? Relakah kita kehilangan orang yang kita cinta tanpa alasan yang jelas? Belum tentu. Itulah jawaban yang sangat mungkin (kalau tidak mau dikatakan seratus persen tidak). Apalagi jika melihat realita kehidupan kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita lebih terpesona oleh gemerlap dunia bahkan tidak jarang menganggap cinta adalah segalanya.
Lain halnya dengan Ibrahim. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyoal dan mempermasalahnkan keputusan Tuhan. Tak pernah dia bertanya: “Tuhan, mengapa Engkau memerintahkan demikian? Bukan-kah Engkau tahu bahwa Ismail adalah tambatan hatiku?”. Malah dengan sangat bijak, demokratis, lembut dan penuh kasih dia ceritakan perihal wahyu tersebut pada Ismail: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?!" Dengan tidak kalah menejutkan, tanpa ragu-ragu Ismail menjawab:” "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” Selanjutnya, “ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman". Demikian al-Qur’an berkisah tentang cinta dan pengorbanan mereka yang pada gilirannya kita dapat mengenal istilah “berkurban” dalam Islam dan tentunya hal itu juga bisa kita jadikan upaya mengenang peristiwa besar tersebut.

Belajar Cinta
Dalam sejarah kehidupan, cinta bukanlah hal baru tapi uniknya, ia tak pernah basi dibicarakan. Sejak zaman manusia mengenal kehidupan, sampai sekarang, bahkan sampai kiamat sekalipun cinta akan selalu menarik dibahas. Cinta adalah pembunuh, cinta adalah penderitaan, cinta adalah buta, cinta adalah… adalah… dan seterusnya… demikian manusia mendefinisikan dan mempersepsikan cinta semata-mata menurut yang mereka rasa, pengalaman pribadi maupun orang lain. Namun tak ada satupun definisi atau persepsi tentang cinta yang cukup mampu menyingkap kesejatian dan menjelaskan maknanya yang terdalam.
Nah, Islam hadir di tengah-tengah umat manusia dengan segala petunjuk yang sangat nyata, cahaya yang begitu terang dan aturannya yang mencakup segala aspek kehidupan menembus ruang dan waktu, tentunya tanpa terkecuali masalah cinta sekalipun tak luput dari perhatiannya. Islam menempatkan cinta sebagai anugerah agung, pemberian yang harganya tak ternilai dan karunia yang tak mungkin diperjual-belikan. Bahkan, dengan tegas menjadikan cinta sebagai salah satu barometer kesempurnaan iman seorang muslim; sebagaimana disebutkan dalam hadits:" tidak beriman salah seorang dari kalian sebelum ia mencintai saudaranya sebagaiman ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari no. 13, Muslim no. 45).
Jadi, Islam tak pernah melarang siapapun mencinta dan dicinta, merindu dan dirindu selama rasa itu tidak ditempatkan di atas cinta pada Pemiliknya, dan selama sesuai dengan aturan yang telah digariskan oleh-Nya. karena hanya cinta kepada dan karena Allah-lah yang akan membawa pada kebahagiaan yang hakiki sekaligus mengantarkan pada kenikmatan sorgawi dan menuntun mencapai cinta sejati.Atau meminjam istilah Aluf Labini yaitu “cinta yang tak akan pupus oleh waktu, tak akan lapuk oleh panasnya sinar mentari juga tak akan terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan badai kehidupan”. Cinta model inilah yang dipraktekan dan dimiliki oleh Ibrahim dan Ismail. Keduanya sadar bahwa penempatan yang salah hanya akan menyengsarakan, mengalirkan air mata penyesalan dan seterusnya. Dalam alQur’an Allah berfirman: “Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At Taubah: 24). Oleh karena itu, tidak heran kiranya jika keduanya mendapat pujian langsung dari Allah dan kisahnya pun diabadikan dalam firmannya, al-Quran.

Nilai Sebuah Pengorbanan
Kata orang, "Ungkapan cinta akan hampa tanpa makna saat ia hanya di bibir saja". Tanpa harus memperdebatkan validilitas ungkapan tersebut ataupun mencoba mempertanyakan sumbernya, barangkali tidak salah jika kita meng-iyakan, mengingat kenyataan di lapangan bahwa “hampir” setiap orang dengan mudahnya berbicara ketulusan, bersyair tentang kerinduan dan mengungkapkan kata-kata cinta di hadapan pujaan hatinya. Tapi apakah semua itu cukup membuktikan kebenaran isi hati juga perasaan yang tersembunyi? Ternyata tidak. Cinta masih membutuhkan banyak hal, termasuk sebuah pengorbanan. Contoh, sebagai bukti kebesaran cinta Ibrahim kepada Allah, dia rela mengorbankan segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Demikian pula dengan Ismail, demi cintanya kepada Allah dan ketulusan bakti pada sang ayahanda dia rela mengorbankan nyawanya. Subhanallah! Padahal, perintah penyembelihan hanya sebatas mimpi. Tidak lebih. Benar apa yang disebutkan dalam salah satu syair Arab yang artinya: “ Andaikan cintamu tulus nan sejati pasti engkau akan taat kepada-Nya karena sang pecinta akan taat pada yang dicinta”.
Sekali lagi, ini berarti, kata-kata saja tidak cukup, masih butuh bukti, ketulusan dan pengorbanan juga hal lain. Dengan bukti kita akan dipercaya, dengan ketulusan kita akan jauh dari keterpaksaan lalu dengan pengorbanan kita telah menghilangkan segala keraguan yang masih bersemayam.

Aktualisasi Dalam Kehidupan
Berharap kembali ke masa lalu tidak ubahnya seperti berharap mengembalikan mata air ke sumbernya, memutar jarum jam ke belakang atau menarik matahari ke arah dari mana ia terbit. Tapi bukan hal tak mungkin jika kita akan mencapai hal yang sama (atau paling tidak mendekati) jika menempuh jalan atau cara yang sama pula. Kaitannya masalah ini dengan kisah di atas adalah, kita memang tidak mungkin menghadirkan Ibrahim dan Ismail ke zaman kita sekarang atau sebaliknya kita bermaksud kembali ke zaman mereka. Tapi tidak mustahil kita juga akan mendapat pujian dari Allah SWT. dan menggapai cinta-Nya jika kita berusaha meniru mereka berdua yang pada akhirnya akan membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki sekaligus mengantarkan kita pada kenikmatan sorgawi dan menuntun kita mencapai cinta sejati, seperti mereka.
Sebagai hamba, keduanya telah mengajari kita tentang cinta dan cara menempatkannya secara tepat dan benar; membedakan cinta kepada Allah SWT. Denga makhluk-Nya. Sekuat dan sebesar apa pun cinta kepada mkhluk tak pernah sedikit pun membuat terlena, buta, lupa, apalagi mengabaikan perintah-Nya. Kok bisa? Karena mereka telah berhasil menghadirkan “eksistensi” Tuhan dalam jiwa dan hati mereka sehingga untuk berkorban akan terasa mudah dan istilah ketulusan jadinya tidak hanya isapan jempol belaka.
“Yaa Bunayya”, hai anak ku. Begitulah Ibrahim menyapa Ismail, ungkapan lembut penuh kasih. Sebagai seorang ayah, dia telah mengajarkan keterbukaan, sikap demokrasi dengan segala sentuhan dari hati ke hati sehingga dia berhasil menanamkan sikap dewasa dalm jiwa Ismail, juga menanamkan butir-butir ketulusan cinta dalam hatinya sejak usia dini.
Ismail sendiri? Ternyata tidak jauh beda. Konon, sebelum acara penyembelihan di laksanakan, dia berpesan:” Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu , agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya." Lagi-lagi, subhanallah! Dan biarlah hati dan jiwa kita sajalah yang mengomentari ketulusan kata-kata ini.
Dan untuk selanjutnya, marilah kita bertanya pada hati kita masing-masing, atau paling tidak berandai-andai barang sebentar: “ Seandainya seluruh hamba layaknya mereka berdua? “seandainya cemua ayah adalah Ibrahim dan semua anak memiliki karakter sama seperti Ismail, betapa indahnya kehidupan dunia ini?”

Salam, ad. Is-Di.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar