Halaman

Senin, 03 Mei 2010

EMANSIPASI WANITA, APANYA YANG SALAH?

“Ibu kita Kartini putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya….”
Sebuah penggalan lagu wajib anak-anak sekolah semenjak usia dini. Ya, sebuah lagu yang dicipta khusus mengenang seorang pahlawan yang bercita-cita luhur seputar kehidupan kaum perempuan. Dialah ibu kita Kartini, seoarang putri Indonesia yang sampai kini harum namanya dan dikenang oleh generasi setelahnya. Dia dikenal sebagai pahlawan yang gigih berjuang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang kala itu masih dipandang senelah mata. Dia berusaha meyakinkan bangsanya bahwa kaum permpuan memiliki hak yang sama, “bebas”, tidak dikekang sebagaimana kaum laki-laki. Tidak boleh di-anaktiri-kan. Tidak boleh diperlakukan semena-mena, dicekal dan dikurung dalam rumah….


Melihat kenyataan ini, barangkali tidak salah jika dia dinobatkan sebagai pahlawan karena keberaniannya yang begitu mengangumkan. Keberanian yang pada masanya dianggap tabu, bermasalah, tidak wajar dan menyalahi tradisi atau tatanan hidup yang sudah mapan.

Kartini dan Isu Emansipasi Wanita
Terlepas dari apa dan siapa yang telah mengilhami dan menginspirasi Kartini, yang jelas kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan pemikiran untuk selalu membela kaum perempuan dan mengangkis mereka dari ketertinggalan ternyata tidak sia-sia, dan tidak hanya menjadi kisah yang hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Tapi cukup memberi pengaruh yang sangat besar dan meluas serta direspon positif oleh berbagai golongan. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa dalam berbagai forum pertemuan -baik formal maupun non formal, seringkali tidak pernah lepas dari pembahasan seputar emansipasi wanita. Di mana-mana sering kita dengar suara lantang dengan mengusung sebuah jargon,”menjungjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan”. Di sana-sini juga menyuarakan hal yang sama, toh walaupun dengan cara yang berbeda, misalnya, berangkat dari istilah HAM (Hak Asasi Manusia), kesetaraan gender dan lain sebagainya.
Lalu apanya yang salah dengan yang mereka lakukan? Pada dasarnya memang tidak ada yang salah dengan upaya membela kaum yang lemah dan menolong mereka yang teraniaya tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Tidak salah menunutut keadilan. Sama sekali tidak salah asalkan dengan cara yang benar. Bahkan bisa jadi sebuah keharusan dan perlu diperjuangkan. Hanya saja banyak hal yang perlu digaris bawahi dari apa yang telah mereka perjuangkan selama ini. Tentunya jika melihat kenyataan di lapangan.
Apa yang mereka perjuangkan atas nama emansipasi wanita, HAM, kesetaraan gender malah sering kali kebablasan, yang pada gilirannya senboyan atau jargon “menjunjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan”, membela kaum yang tertindas dan sebagainya pun kian kabur. Bahkan tidak jarang terkesan hanya memperkeruh suasana dan menambah masalah di masyarakat. Seperti terkait berpenampilan lawan jenis, budaya buka-bukaan, pamer aurat, menjajakan diri yang semakin hari kian menjamur. Kebebasan dan kesetaraan gender yang mereka gembar-gemborkan seakan tanpa batas. Ironisnya lagi, banyak yang sampai berani menggugat aturan yang sudah jelas sakral (baca: agama). Diantara contoh yang paling mencolok dalam masalah ini adalah yang berhubungan dengan hak warits, dan nikah beda agama. Dalam hak warits, mereka menuntut kesama-rataan dalam pembagiannya. Dalam masalah nikah beda agama, mereka menghendaki kebebasan sepenuhnya.

So?
Sebenarnya, dalam Islam sama sekali tidak ada deskriminasi terhadap kaum perempuan. Tidak memandang mereka sebelah mata. Tidak merendahkan apalagi menghinakan mereka. Islam malah sangat memuliakan, dan menjujnjung tinggi harkat dan martabat mereka. Ini terbukti misalnya dengan ajarannya yang sangat luhur supaya seorang anak harus memperlakukan orang tuanya secara baik, sampai-sampai kita mengenal, “sorga berada di bawah telapak kaki ibu” dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan ketidak-samaan dalam pembagian hak warits dan larangan nikah beda agama? Mana letak keadilan Islam? Kalau kita mau jujur, sebenarnya dengan adanya aturan tersebut keadilan Islam lebih tampak. Islam menempatkan manusia secara proposional. Di tempat yang selayaknya. Yang sesuai dengan kodratnya masing-masing.
Jadi, sangat tidak pantas jika kita masih meragukan keadilan agama. Tidak perlulah kaum permpuan berotot layaknya kaum laki-laki karena memang kodrat mereka seperti itu. Dan tidak perlu pula pusing-pusing, kesana-kemari menunutut kesamaan hak warits, wong pada prinsipnya mereka tidak berkewajiban menafkahi keluarganya. Beda dengan kaum laki-laki, mereka dibebani kewajiban tersebut. Ringkasnya, maklumlah jika karena alasan yang demikian Islam kemudian melebihkan mereka dalam pembagian hak warits. Demikian pula dengan masalah adanya larangan nikah beda agama, yakni kaum muslim dilarang menikah dengan non muslim, selain dari kalangan ahli kitab. Yang diperbolehkan dari kalngan ahli kitab sekalipun tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi; antara lain, harus laki-lakinya yang muslim, dan tidak boleh jika sebaliknya.
Kesimpulannya adalah, bahwa setiap aturan, perintah dan larangan agama tidak pernah lepas dari hikmah dan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allahu a’la.

Salam, Ad. Is-Di.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar