Halaman

Kamis, 29 April 2010

Assalaamu'alaikum wr wb.

Alhamdulillah, shalawat serta salam pada junjunan alam Rasulullah Muhammad SAW, pada saat ini tim moderator dari Islam-Dialog Chatroom di mig33 bisa membuat blog, yang tujuannya adalah untuk memuat tulisan - tulisan jawaban atas pertanyaan dan diskusi yang ada di dalam chatroom Islam-Dialog, semoga saja hal ini bisa menjawab pertanyaan yang belum tuntas di bahas di dalam rum.

Selain itu di blog ini bisa sebagai pembelajaran bagi saudara-saudari yang gemar menulis dan berbagi pandangan agar bisa dibaca oleh rekan- rekan yang lain, yang haus akan ilmu.
Ini bulan kedua bagi tim IsDi updet blog ini, smoga saja kami bisa terus menjadi lebih baik, kami masih mengisi blog ini dengan saduran dari penulis dan website lain, tapi kedepannya insyaAllah kami akn mandiri dengan karya sendiri, dan itu tidak akn terwujud tanpa dukungan dari user n keluarga IsDi(Islam-Dialog).

Semoga Allah SWT membimbing kita untuk selalu istiqamah dalam belajar dan mencari ilmu.....Amin ya rabb al'alamiin.

Tim Moderator IsDi
Islam.Dialog@yahoo.com Read More......

Jumat, 09 April 2010

Topik Rum/Bunga Bank

Majelis Tarjih : Bunga Konvensional Bank Swasta Haram
Ahad, 04 April 2010,

MALANG- Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah merekomendasikan bunga bank konvensional hukumnya haram. Baik itu bank swasta maupun bank milik negara. Rekomendasi tersebut dikeluarkan dalam sidang pleno Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ahad (4/4) dini hari.

Menurut Wakil Sekretaris Munas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ki Ageng Abdul Fattah Wibisono, hukum bunga bank itu haram tak hanya untuk bank yang dikelola swasta. Namun, bank-bank milik pemerintah yang dikelola non-syariah hukumnya juga haram. "Sesuai kesimpulan kami, bunga bank itu hukumnya riba. Sedangkan barang yang riba itu hukumnya haram," tutur dia, kemarin.

Dia menjelaskan bahwa berdasarkan majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah saat melakukan pengkajian terhadap bunga bank yang diterapkan secara konvensional di Indonesia itu mirip dengan riba. Kemiripan tersebut, terlihat pada tambahan uang sebagai imbalan mendapatkan modal dalam waktu tertentu. Selain itu, ada perjanjian yang mengikat. Sedakang peminjam diikat dan dipaksa untuk memenuhi tambahan pinjaman itu. Sehingga, yang menjadi penikmat dari transaksi di bank itu hanya pemilik modal.

Berdasarkan konsep transaksi semacam itu, kata dia, majelis Tarjih menilai ada dzulmun (tirani) dari pemilik modal pada nasabah atau peminjam modal. Makanya, transaksi pinjam meminjam di bank itu hukumnya riba. Karena itu, kata dia, Majelis Tarjih memutuskan bunga bank haram.

Meski begitu, secara jujur dia mengakui bila keputusan soal bunga bank itu haram bukan merupakan hal yang baru di Persyarikatan Muhammadiyah. Alasannya, saat muktamar tarjih (kini musyawarah nasional) tahun 1968 yang lalu di Sidoarjo, Jawa Timur, juga mengeluarkan keputusan bahwa bunga bank itu hukumnya haram.

Namun, lanjut dia, karena berbagai pertimbangan yang diharamkan hanya bank konvensional milik swasta. Sedangkan bunga bank pemerintah kala itu diputusklan hukumnya masuk kategori mutasyabihat (mengambang). Alasannya, karena hasil dari bank pemerintah waktu itu dinilai lebih banyak manfaatnya untuk rakyat. Sebab, hasilnya itu dialokasikan untuk pembangunan negara. Misal untuk pembangun jalan, membuat rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya.

Lantas mengapa bank milik swasta diharamkan? ''Ya karena keuntungan bank swasta hanya dinikmati segelintir atau sekelompok orang saja. Terutama , para pemilik modal bank saja. Nah, sekarang ini kan sudah beda. Sejak era reformasi ada kebijakan privitasisasi bank pemerintah. Sehingga pemegang saham mayoritas di bank pemerintah pun ada yang bersifat swasta," tutur Fattah.

Dengan adanya kondisi semacam itu harus ada solusi. Sebab, bank konvensional menurut Muhammadiyah haram karena ada unsur riba. Solusinya, terang dia, majelis tarjih menghimbau kepada umat Islam untuk pindah ke bank yang menggunakan sistem syariah. Alasannya, berdasarkan pengkajian dan pemahaman majelis tarjih, sistem perbankan syariah tidak mengandung unsur riba. Sehingga, hukumnya haram

Kendati demikian, terang dia, penerapan hukum ini tak bisa serta merta langsung dilaksanakan di seluruh penjuru tanah air. Sebab, Majlesi Tarjih memahami bila sampai saat ini tidak semua wilayah ada bank syariah. Bank-bank syariah belum menjangkau ke seluruh penjuru pelosok tanah air IUndonesia. "Karena itu, untk sementara ini kita masih memberi pilihan untuk memanfaatkan bank konvensional dan bank syariah. Tapi, ke depan semua wajib ke bank syariah, jika di daerahnya sudah ada bank non-konvensional itu," pungkas Abdul.
Red: taufik
Rep: asran aji

Putusan Majelis Tarjih Perkuat Fatwa MUI
Ahad, 04 April 2010, 16:45 WIB
JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin menyambut penerbitan fatwa bunga bank haram oleh Munas Majlis Tarjih PP Muhammadiyah. Fatwa tersebut memperkuat fatwa MUI yang terbit pada 2003. Fatwa Muhammadiyah itu juga sejalan dengan fatwa serupa yang diterbitkan berbagai forum ulama Islam dunia. ‘’MUI sudah mengeluarkan pada 2003. Jadi, kalau Muhammadiyah mengharamkan bunga bank itu memperkuat fatwa,’’ katanya kepada Republika, Ahad, (4/4).

Menurut Maruf, setidaknya terdapat tiga forum ulama internasional Islam yang juga menyatakan bunga bank haram. Ketiganya adalah forum majma’ul buhus di Al Azhar, forum fiqh Organisasi Konferensio Islam (OKI), dan forum fiqh Rabithah Alam Al Islami. Ketiga forum berpendapat bunga bank sama dengan riba karena mengambil keuntungan lebih dari usaha meminjamkan dana kepada pihak lain. ‘’Bunga itu sama dengan riba karena hanya mendapatkan uang dari meminjamkan bukan hasil dari usaha,’’ katanya.

Karena itu, menurut Maruf, penerbitan fatwa haram bunga bank oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah sejalan dengan pendapat sebagian besar ulama dunia. Dengan demiian, fatwa pengharaman tersebut perlu didukung. ‘’Ini artinya fatwa (haram bunga bank) menjadi sangat kuat karena semua menyatakan bunga bank haram,’’ katanya.
Mengenai masih adanya Ormas Islam yang belum menyatakan haramnya bunga bank, Maruf mempersilakannya. Namun, ia menilai sikap Ormas tersebut berseberangan dengan kesepakatan banyak ulama di Indonesia dan dunia. ‘’Ini karena fatwa MUI haram bunga bank juga merupakan kesepakatan forum-forum Islam Indonesia,’’ katanya.
Red: taufik
Rep: bachrul ilmi

Said Aqil: Bunga Bank Masalah Khilafiyah
Senin, 05 April 2010,
JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj menyatakan permasalah bunga bank tetap menjadi masalah perbedaan pendapat antar ulama atau khilafiyah. Pernyataan itu terlontar menyikapi penerbitan fatwa haram bunga bank oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah baru-baru ini. ‘’Masalah ini masih khilafiyah. Lalu, ini kan juga masalah furuiyah (cabang), bukan masalah prinsip,’’ katanya kepada Republika, Senin, (5/5).

Menurut Said, PBNU masih memegang hasil keputusan Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada 1989. Saat itu, terjadi perbedaan pendapat antar ulama yang menghasilkan tiga sikap. Sebagian ulama menyatakan bunga bank adalah haram karena ada unsur spekulasi. Sebagian lain berpendapat bunga bank halal karena adanya kesepakatan antara dua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati tanpa paksaan. ‘’Hukum lainnya adalah bunga bank bisa menjadi syubhat (tidak jelas halal-haramnya),’’ ujarnya.

Meski telah berusia 21 tahun, Said menyebutkan, PBNU di bawah kepemimpinannya saat ini masih memegang hasil muktamar tersebut. Hal itu karena belum ada rencana pelaksanaan forum ulama NU yang mengkaji soal halal haram bunga bank.

Selain itu, negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Arab Saudi juga memperbolehkan pemberian akses layanan perbankan konvensional dengan sistem bunga dan perbankan syariah dengan sistem bagi hasil. ‘’Jadi, kalau belum diubah ya kita mesti pegang hasil yang sudah ada dan kita belum ada rencana untuk membahasnya,’’ ujarnya.
Red: siwi
Rep: Bachrul Ilmi

Dikutip Oleh, Tim IsDi
Islam-Dialog@yahoo.com
URL Http://www.Islam-Dialog.Blogspot.Com
Sumber, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/04/05/109523

Read More......

Hikmah/Pengendalian Hawa Nafsu

Pengendalian Hawa Nafsu
Cinta kita kepada Allah SWT dan keyakinan bahwa kehidupan di dunia ini suatu saat akan berakhir dan di akhirat nanti masing-masing kita harus mempertanggungjawabkan setiap detik perjalanan hidup di dunia, memiliki andil yang sangat besar dalam mengendalikan kecenderungan hawa nafsu.



Suatu saat terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rasulullah Saw bertanya kepada Hudzaifah. Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini? Jawab Hudzaifah: “Saat ini saya sudah benar-benar beriman, ya Rasulullah”. Rasul kemudian mengatakan, “Setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu, wahai Hudzaifah?” Jawab Hudzaifah: Ada "dua", ya Rasulullah. Pertama, saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan mas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur kepada Allah SWT. Tapi, kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah, dan bila ia pergi maka, Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un. Yang kedua, Hudzaifah mengatakan, “setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan surga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli surga itu me-nikmati kenikmatan surga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah saya untuk melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya”.

Mendengar jawaban Hudzaifah ini, Rasul langsung saja memeluk Hudzaifah dan menepuk punggungnya sambil berkata, "pegang erat-erat prinsip keimananmu itu, ya Hudzaifah, kamu pasti akan selamat dunia akhirat". Bila kita cermati dialog tersebut, paling tidak, ada "dua" hikmah yang bisa kita petik. Pertama, iman kepada Allah, dengan mencintai Allah itu di atas cinta kepada selain Allah. Dan yang kedua, selalu membayangkan akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di dunia bagi kehidupan yang abadi di akhirat nanti.

Di dalam beberapa ayat, Allah SWT menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang muttaqin, mereka di antaranya adalah yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat. Orang yang beriman akan adanya kehidupan akhirat, akan membuat dia mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meyakini akan adanya kehidupan akhirat, "Mereka tidak pernah takut dengan hisab Kami, dan mereka telah mendustai ayat-ayat Allah dengan dusta yang nyata." (An Naba', 78 : 27-28)

Di dalam Alquran, Allah SWT mengisahkan dialog sesama Muslim di akhirat yakni antara Muslim yang ahli surga dengan Muslim berdosa yang masuk dalam neraka jahanam. Muslim yang langsung masuk surga bertanya kepada Muslim berdosa yang masuk ke dalam neraka. “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka ? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.” (Al Muddatstsir, 74 : 42-46)

Menurut Alquran, kebanyakan orang-orang yang kufur adalah mereka yang akhir hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Ini terjadi karena mereka tidak mengimani bahwa kehidupan mereka akan berakhir di alam akhirat dan mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh aspek kehidupan mereka selama di dunia. Demikian pula, Allah SWT mengisahkan kesombongan Fir'aun dan orang-orang yang menyembahnya, "Sombonglah Fir'aun itu dengan seluruh pengikutnya di muka bumi tentu dengan alasan yang tidak benar. Dan mereka mengira, bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada Kami." (Al Qashash, 28 : 39)

Kesombongan Fir'aun berakhir saat sakaratul maut. Saat dia menyadari bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika rombongan malaikat yang bengis-bengis itu mendatanginya saat dia sedang berada di tengah laut, yang dikisahkan para malaikat itu langsung memukul wajah dan punggung mereka. Allah SWT berfirman: “..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An'aam, 6 : 93)

Pada saat sakaratul maut itu, Fir'aun menyatakan: “Sekarang saya benar-benar beriman dengan Tuhannya Nabi Musa dan Harun”. Namun saat sakaratul maut pintu taubat sudah ditutup. Karena sudah tidak ada lagi ujian keimanan, sebab yang ghaib termasuk alam dan makhluk ghaib sudah terlihat nyata. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qaaf, 50 : 22)

Orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari pembalasan/akhirat, yang diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya untuk hanya mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang dibenci Allah, yang hanya mencintai sesuatu di dunia jika yang dicintainya itu dicintai Allah SWT.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika pada siang hari, Sayidana Umar ra. berkunjung ke rumah Rasulullah SAW di mana saat itu Rasul sedang tidut beristirahat, dengan dada telanjang. Ketika beliau bangun tampaklah pada punggungnya garis-garis merah karena kasarnya alas tidur beliau yang dibuat dari pelepah kurma. Melihat pemandangan ini, Sayidina Umar menangis. Beliau yang terkenal keras saat itu luluh hatinya ketika melihat Rasulullah dalam kondisi seperti itu. Rasul bertanya: “Apa yang membuat kamu menangis wahai Sayidina Umar ? “Umar berkata:” saya malu ya Rasulullah, engkau adalah pemimpin kami, engkau adalah Rasul Allah, manusia pilihan, manusia yang dimuliakan-Nya. Engkau adalah pemimpin ummat, namun engkau tidur di atas alas yang kasar seperti ini, sementara kami yang engkau pimpin tidur di atas alas yang empuk. Saya malu ya Rasusulullah, selayaknya engkau mengambil alas tidur yang lebih dari ini”. Rasul menjawab: “Apa urusan saya dengan dunia ini? Tidak ada! Urusan diri saya dengan dunia ini kecuali seperti orang yang sedang mengembara dalam musim panas menempuh sebuah perjalanan yang cukup panjang, lalu sekejap mencoba bernaung di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sekejap melepas lelah. Setelah itu dia pun kemudian pergi meninggalkan tempat peristirahatannya”. Kata Rasul: haruskah saya korbankan kehidupan yang abadi hanya untuk bernaung sejenak menikmati itu? (HR. Ahmad, Ibnu Habban, Baihaqi)

Selain kisah di atas, ada kisah lain yang layak kita renungkan di mana suatu ketika Khalifah Umar kedatangan putranya, Abdullah, yang meminta dibelikan baju baru. Secara spontan saja Sayidina Umar langsung marah sambil mengatakan: “Apakah karena kamu seorang anak Amirul Mu’minin lantas kamu ingin bajumu selalu lebih baik dari anak-anak yang lain ? Jawab Abdullah: Tidak! Saya khawatir malah kondisi saya ini akan menjadi fitnah, menjadi bahan cemoohan orang lain di mana anak Amirul mu’minin pakaiannya tidak pernah ganti-ganti, sebab dia hanya memiliki dua baju, di mana bila yang satu dipakai maka yang satu dicuci dan seterusnya. Sayidina Umar berkata: “Baiklah Nak, saya ingin belikan kamu baju baru hanya saja ayah saat ini tidak punya uang. Untuk itu kamu saya utus menemui “Khoolin Baitul Maal’ (bendahara negara), sampaikan kepada beliau salam dari ayah dan katakan pula bahwa ayah bermaksud mengambil gajinya bulan depan untuk membelikan kamu baju baru. Abdullah langsung menemui bendaharawan negara dengan mengatakan: “Ada salam dari ayah. Dan, ayah minta supaya gaji bulan depan bisa diserahkan saat ini untuk membelikan saya baju baru”. Bendaharawan tersebut mengatakan: “Nak, sampaikan kembali salamku kepada ayahmu, dan katakan bahwa aku tidak bersedia mengeluarkan uang itu”. Tanyakan kepada ayahmu, apakah ayahmu yakin sampai bulan depan beliau masih menjabat Amirul Mu’minin, sehingga berani mengambil uang gajinya bulan depan sekarang ? Andaikata dia yakin sampai bulan depan dia masih Amirul Mu’inin, yakinkah sampai besok dia masih hidup, bagaimana kalau besok ia meninggal dunia padahal gajinya bulan depan sudah dikeluarkan. Mendengar jawaban bendahara negara yang demikian itu, pulanglah Abudullah segera menemui ayahnya sambil menyampaikan pesan dari bendaharawan tersebut.

Mendengar penuturan anaknya, Umar langsung menggandeng tangan anaknya sambil mengatakan, antarkan saya menemui bendaharawan tadi. Begitu sampai di hadapan bendaharawan tersebut, Sayidina Umar langsung memeluknya, sambil mengatakan, terima kasih, saudara telah mengingatkan saya terhadap satu keputusan yang nyaris saja salah. Demikianlah kisah Sayidina Umar dan masih banyak lagi kisah lain dari perjalanan hidup para sahabat yang patut kita teladani untuk menghadapi dinamika kehidupan yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.

Allah SWT telah mengingatkan tentang bahayanya manusia-manusia yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, “Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (An Naazi’aat, 79 : 39) “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nyadan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (An Najm, 53 : 29-30)

Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedemikian mulianya bisa terwujud tiada lain karena adanya benteng keimanan yang sangat kuat dan kokoh. Semoga kita bisa meneladani apa yang menjadi perilaku Rasul dan para sahabatnya. Amin!

Wallahu a’lam bish-shawab

Dikutip oleh Tim IsDi
Islam-Dialog@yahoo.com
URL Http://www.Islam-Dialog.Blogspot.Com
Sumber http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/09/10/23/84360-pengendalian-hawa-nafsu


Read More......

Kamis, 08 April 2010

Khazanah/Syekh al-Albani


Syekh al-Albani, Ulama Hadis Abad Ini
Kamis, 08 April 2010

Hadis merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Alquran. Di dalam hadis itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang ilmu hadis, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, atau yang lebih dikenal dengan Syekh al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaru Islam abad ini.

Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadis. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadis-hadis lemah dan palsu serta meneliti derajat hadis. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H (1914 M) di Ashqodar (Shkodra), ibukota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu, khususnya ilmu agama. Ayahnya, al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara kesultanan Turki Usmani (yang kini menjadi Istanbul). Ia wafat pada hari Jumat malam, 21 Jumadil Tsaniyah 1420 H, atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999, di Yordania.

Ketika Ahmet Zogu berkuasa di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeikh al-Haj Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam (Suriah, Yordania dan Lebanon sekarang) dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syekh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Ia masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Ia belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para ulama. Ia belajar Alquran dari ayahnya sampai selesai, selain juga mempelajari sebagian fiqih mazhab Hanafi. Ia juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.

Pada usia 20 tahun, ia mulai mengkonsentrasikan diri pada ilmu hadis lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali. Kegiatan Syekh Al-Albani dalam bidang hadis ini ditentang oleh ayahnya yang berkomentar, ''Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit.''

Namun, Syeikh al-Albani justru semakin menekuni dunia hadis. Pada perkembangan berikutnya, al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan az-Zhahiriyah di Damaskus. Disamping juga meminjam buku dari beberapa perpustakaan khusus. Karena kesibukannya ini, ia sampai-sampai menutup kios reparasi jamnya. Ia tidak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadis, kecuali jika waktu shalat tiba.

Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, ia menjadi makin leluasa dan terbiasa datang sebelum pengunjung lain datang. Begitu pula, ketika orang lain pulang pada waktu shalat zuhur, ia justru pulang setelah shalat isya. Hal ini dijalaninya selama bertahun-tahun.

Menulis dan mengajar
Semasa hidupnya, beliau secara rutin mengisi sejumlah jadwal kajian yang dihadiri para penuntut ilmu dan dosen-dosen untuk membahas kitab-kitab. Dari sinilah kemudian ia banyak menulis karya ilmiah dalam bidang hadis, fiqih dan akidah. Karya-karya ilmiahnya ini membuat beliau menjadi tokoh yang memiliki reputasi yang baik dan sebagai rujukan alim ulama.

Oleh karena itu, pihak Jami’ah Islamiyyah (Universitas Islam Madinah) meminta beliau untuk mengajar hadis dan ilmu-ilmu hadis di perguruan tinggi tersebut. Beliau bertugas selama tiga tahun, dari 1381 H sampai 1383 H. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan Yordania meminta Syekh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada program pasca sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395-1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation atas jasa-jasanya dalam mengajarkan ilmu hadis pada tanggal 14 Dzulqa'idah 1419 H.
Sebelum berpulang, Syekh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil fotokopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak Perpustakaan Jami'ah Islamiyyah.

Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang hilang. Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain: Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah, Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah, Silisilah al-Ahadits ash Shahihah, Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah, At-Tawasul wa anwa'uhu, dan Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha. Di samping itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang berbagai masalah yang yang dihadapi umat Islam.

Kritikan yang Menuai Penjara
Kejelian dalam menganalisa hadis telah membuka cakrawala baru bagi Syekh al-Albani. Ia sering dihadapkan kepada kenyataan hidup yang menyimpang dari tuntutan Rasul. Praktik-praktik agama sehari-hari yang dipandang sebagai Sunnah rasul oleh sebagian anggota masyarakat sebenarnya tidak lain dari bid'ah (penyimpangan dalam agama) yang tidak beralasan. Ia juga harus berhadapan dengan gejala fanatik mazhab yang berkembang di kalangan ulama, termasuk ayahnya sendiri yang sangat mengkultuskan mazhab Imam Abu Hanifah. Al-Albani akhirnya membulatkan tekad untuk menghapuskan praktik-praktik keagamaan yang tidak benar ini melalui berbagai pengarahan kepada masyarakat.

Al-Albani mengakui banyak terpengaruh oleh metode penelitian akademis seperti dilakukan oleh Rasyid Ridha, terutama dalam meneliti warisan pengetahuan Islam. Karya ilmiah Islam pertama yang ditelitinya adalah buku Ihya' Ulumi 'd-Din karya Imam al-Ghazali. Beliau mulai tertarik dengan karya ini setelah membaca sebuah essai yang ditulis oleh Rasyid Ridha. Beliau telah mengumpulkan berbagai tanggapan yang ditulis tentang buku Ihya' Ulumi 'd-Din dan meneliti semua hadis serta sumber yang dipakai Imam al-Ghazali dalam buku ini.

Beliau tidak segan-segan merevisi pendapat ulama-ulama mujtahidin bila berdasarkan pengamatan beliau, para ulama tersebut ceroboh dalam mempergunakan hadis atau jauh dari jiwa syari'at Islam. Beliau tidak peduli apakah yang ceroboh tersebut adalah imam mazhab seperti Abu Hanifah atau Ibnul Qayyim al-Juaziyah dan Ibnu Taimiyyah, apalagi ulama-ulama belakangan yang lebih banyak mendalami pengkajian mazhab tetapi kurang hati-hati dalam menggunakan sabda Rasul. Justru kritikan semacam ini kadang-kadang membuat beliau bentrok dengan ulama-ulama setempat yang merasa kewibawaan mereka terlangkahi.

Selanjutnya campur tangan penguasa politik pun sulit untuk dihindari karena pendapat beliau dianggap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Sebagai akibatnya, Syekh al-Albani pernah mendapat pencekalan dan mendekam dalam penjara karena mempertahankan kebenaran pendapatnya. Tercatat beliau dua kali mendekam dalam penjara. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan.

Kendati banyak yang tidak menyukainya, namun tidak sedikit juga ulama-ulama dan kaum pelajar yang simpati terhadap dakwah beliau sehingga dalam majelisnya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu yang haus akan ilmu yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah. dia/taq
Red: Republika Newsroom
Dikutip oleh Tim IsDi
Islam-Dialog@yahoo.com
URL Http://www.Islam-Dialog.Blogspot.Com
Sumber, http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/12/23/97645-syekh-alalbani-ulama-hadis-abad-ini

Read More......