Halaman

Jumat, 14 Mei 2010

PRAKATA

Assalaamu'alaikum.wr.wb.
Alhamdulillah, wa sholaatu wa salaamu 'ala rosuulillah, Muhammad SAW.
Memasusi bulan ke 3, penerbitan e-buletin IsDi yg mengalami penundaan karena berbagai masalah yg kami (red/tim mode)hadapi, spt hilangnya data user, non aktif 1 akun email isdi(islam-dia...@ovi.com) dll, yg berakibat juga ada sebagian user yg mungkin tdk dpt menerima kriman e-buletin kami, untuk itu kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Terlepas dr pmasalahan itu, mulai edisi ini tlah d tambahkan bbrapa rubrik baru, 'Bahtsul Matsail', yg berisi bhasan fiqih kekinian dg sumber dari pesantren2 d Jawa Timur, rubrik 'Catatan Khusus' sebuah catatan temporer, 'Opini' (admin/moderator) dan 1 tambahan program diskusi offline/online dg menggunakan google mailing list, dmana user bisa mengajukan pertanyaan melalui email ke 'ISLAM-DIA...@GOOGLEGROUPS.COM' yg otomatis kan d teruskan ke smwa user IsDi untuk mendapatkan jawaban, seluruh sesi tanya jawab terdokumentasi untuk dpt dilihat ulang. Untuk komentar dan pertanyaan tertutup(khusus pd tim isdi) di kirim ke email islam.dia...@yahoo.com.
Kami mohon maaf atas sgla kekurangan, dan mohon dukungan, kritik dan saran agar kami lbh baik dlm pengelolaan diskusi ini.
Untuk berhenti mendapatkan kiriman email dri IsDi, kirim email ke ISLAM.DIA...@YAHOO.COM, isi subyek dgn 'stop/berhenti/unscribe'.
Terimakasih untuk saudara yg telah mengirimkan tulisannya, dan mohon maaf pula jika blum d muat, dikarenakan begitu banyaknya tulisan yg masuk, tapi setiap tulisan tetap akan dimuat(dg persetujuan tim) d halaman FACEBOOK ISLAM-DIALOG sebagai catatan, untuk join di FB, add akun Islam.dia...@yahoo.com.
"ILMU ADALAH CAHAYA, DAN KEBODOHAN ADALAH KEGELAPAN", semoga Allah memberkahkan ilmu yg kita dapat, amin. . .

Wassalam,
Tim Moderator Islam-dialog
Email: Islam.dia...@yahoo.com
Mailing List: islam-dialog@googlegroups.com
Blog: http://www.islam-dialog.blogspot.com
Facebook: islam-dialog (islam.dia...@yahoo.com Read More......

Sabtu, 08 Mei 2010

CINTA DAN DUNIA MAYA (Sebuah Langkah Antisipasi Menjadi Korban Kepalsuan)

Saya khawatir, orang-orang modern nantinya akan berkesimpulan bahwa hanya ada dua dunia dalam kehidupan ini; dunia nyata, dan dunia maya. Terlepas dari apakah saya akan dianggap berlebihan atau tidak, yang jelas kekhawatiran saya bukan tanpa alasan. Kekhawatiran tersebut berangkat dari fenomena maraknya penyediaan situs jejaring sosial di internet dengan berbagai fitur tambahan yang cukup menarik, seperti “chatiing” dan lain sebagainya (baca: facebook, yahoo messenger, twitter, dll.).
Memang perlu diakui, bahwa hal-hal tersebut banyak membantu mempermudah beberapa urusan kita. Dengan adanya situs jejaring sosial, kita akan mudah bertemu dengan teman lama, sekaligus mudah mendapat teman baru, juga kemudahan-kemudahan lainnya.
Intinya, kalau sudah masuk pada wilayah ini, kita tidak usah lagi repot-repot memikirkan jarak yang jauh, waktu yang berbeda dan seterusnya… Karena semua itu tidak jadi penghambat untuk selalu berhubungan. Sekalipun lawan bicara kita berda di belahan bumi selatan, dan kita di belahan bumi utara komunikasi akan lancar-lancar saja, bahkan ‘seperti’ secara langsung bertatap muka. Begitu juga, seandainya kita berada di belahan bumi barat dan kita berada di belahan bumi timur tidak jadi faktor penghambat untuk saling berbagi kisah, curhat, dan lain-lain. Ya, ini merupakan satu dari sekian bukti kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang komunikasi.

Ajang Tebar Pesona?
“g’ tw gw, mw kmn lo?, atut, akum, waskum,…,” ini adalah beberapa contoh kata dan kalimat yang pertama kali saya mengenalnya dari dunia maya (baca: cahtting). singkat, padat, tapi cukup mewakili isi hati untuk disampaikan dan dipahami orang lain. Dan di dunia maya ini pula baru saya tahu bahwa ada seseorang yang –menurut pengakuannya punya nikname lebih dari seratus. Luar biasa dan aneh menurut saya ketika itu, tapi begitulah kenyataanya. Sama nyatanya dengan adanya nikname yang lumayan bikin geli, senyum sendiri, dan terkadang menjengkelkan; sebut saja nikname: juzt_hujan, siapa_aQ35, dan sejenisnya.
Kenyataan ini mungkin bagi kita wajar-wajar saja. Tidak ada masalah sedikit pun. Tidak melanggar HAM dan seterusnya… Tapi bagaimana pun, kita sama sekali tidak bisa memungkiri kenyataan lain bahwa apa yang tidak pernah kita anggap masalah, ternyata sudah banyak “menelan korban.” Dalam artian, ternyata beberapa situs jejaring dengan berbagi pelayanan menariknya tersebut seringkali dijadikan ajang tebar pesona diri (lebih khusunya pada lawan jenis). Banyak dari para user dan chatter yang dengan sengaja menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya. Bahkan tidak jarang mereka malah mengobral murah kata-kata cinta, mengungkapkan rasa yang tak pernah ada, menampakkan yang tidak sesungguhnya, bersyair tentang kerinduan, berpuisi tentang dalamnya perasaan, dan bala, bla, bla… tentunya untuk mendapatkan mangsa, alih-alih memang yang jadi incaran. Ironisnya, tidak sedikit yang terkena jerat. Banyak hati yang ternoda karenanya. Banyak harapan muncul pada hal yang sejatinya belum pasti. Banyak mimpi-mimpi indah lahir semata karena rayuan gombal belaka.
Siapa yang salah dalam kasus ini? Menyalahkan barangkali bukan pilihan paling tepat. Menylahkan saja tidak cukup merubah keadaan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita lebih baik, dan mempersembahkan yang terbaik buat diri sendiri dan semuanya. Sudah terlalu banyak “korban” di antara kita. Dan parahnya lagi, ternyata kita juga pelakunya.

Untuk Saya, Anda, Dia, dan Semuanya
Tulisan saya ini tidak dimaksudkan menyama-ratakan setiap user dan chatter. Masih tak terhitung kok mereka yang punya niat mulia, dan berangkat dari ketulusan; misalnya, tujuan dakwah, belajar agama dan lain sebagainya. Saya tidak pernah bernggapan bahwa dunia maya hanya dipenuhi kebohongan, kepalsuan dan jauh dari nilai-nilai kesejatian, seperti yang dituduhkan banyak orang (?)
Perlu diakui, bahwa kehadiran cinta ‘seringkali’ tidak pernah kita duga. Di mana pun dan kapan pun ia bisa hadir tanpa kita rencanakan sebelumnya, termasuk di dunia maya. Hanya saja, barangkali (kalau tidak mau dikatakan seratus persen iya) sangat tidak bijak, jika dunia maya jadi “pilhan” mencari ketulusan dan kesucian. Sangat tidak dewasa jika kita terlalu larut dalam dunia yang tak nyata. Sangat di sayangkan jika kita mencari kesejatian cinta di dunia yang seringkali dikaitkan dengan ketidak pastian ini. Toh, walaupun tidak menutup kemungkinan kita akan mendapatinya di sana.
Selain itu, bisa saja barang yang menurut kita adalah mutiara, namun sebenarnya ia tidak lebih dari beling yang pada gilirannya malah akan membuat kita terluka. Bukan tidak mungkin, barang yang kita kagumi saat ini sejatinya adalah racun dengan merk madu yang nantinya hanya akan membuat kita binasa. dan, bukan hal mustahil, jika ternyata mimpi yang selama ini menghiasi kita pada dasarnya tidak lebih dari sekedar mimpi belaka.
Memang manusiawi dan sah-sah saja bila mata kita ‘biru’ oleh barang “mewah”, “necis”, dan berlabel “wah!”. Tapi bagaimanapun kita harus tetap waspada dan pilah-pilih, sebab –meminjam istilah yang dipakai oleh KH. Zainuddin MZ., “penmapilan tidak selamanya mencerminkan keaslian.” Apalagi jika “cinta” dan semua rasa itu memang berangkat dari pamrih, yakni harapan sebatas ketampanan kecantikan, karena ia akan hilang seiring berjalannya waktu, akan lapuk oleh panasnya mentari yang selalu menyinari, akan kusut oleh derasnya hujan yang selalu menyirami, dan akan terambang-ambing oleh kerasnya ombak dan badai kehidupan, sebagaimana, dauh Ustadz Aluf Labini dalam salah satu tulisannya: “Cinta karena mengharapkan ketampanan dan kecantikan akan musnah ketika yang diharapakan telah tiada”.
Jadi, pada dasarnya hanya ada dua pilihan dalam hidup ini: baik dan buruk. Benar dan salah. Terserah kita mau pilih yang mana. Yang jelas tiap pilihan pasti dengan konskuensinya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan perasaan di hati, selama kita menempatkannya segara benar dan sesuai ketentuan Ilahi.
Salam, ad. Is-Di.
Read More......

Senin, 03 Mei 2010

KISAH CINTA DAN PENGORBANAN "MEREKA" Upaya Aktualisasi Dalam Kehidupan Modern

Mereka Adalah Ibrahim Dan Ismail
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”(QS. Asshaffat: 102 )
Secuil kisah dan diskusi pendek seorang ayah dengan anak semata wayangnya yang di abadikan dalam al-Quran. Sebuah pertanyaan sederhana namun lahir dari hati yang penuh cinta, lama memendam rindu dan mendambakan buah hati dari waktu ke waktu. Ya, buah hati yang diharapkan menjadi pelipur lara, penyejuk jiwa dan penerus perjuangan menggapai ridha-Nya. Dialah Ibrahim, sang khalil, kekasih Tuhan.

Akhirnya, Allah SWT. memberikan karunia-Nya kepada Ibrahim yaitu dengan lahirnya Ismail dari rahim istrinya. Ibrahim gembira, bahagia tiada tara dan dengan begitu, berarti mimpi indah itu kini benar-benar jadi kenyataan, permohonannya terkabulkan dan harapannya tak disia-siakan oleh Tuhan.
Ismail tumbuh sebagai anak yang cakap, cerdas, patuh dan saleh juga segudang kelebihan lain yang tak dimiliki anak sebayanya. Tapi siapa sangka setelah dia mencapai usia yang sangat menyenangkan, Tuhan memerintahkan Ibrahim menyembelihnya, Ismail, seorang anak yang sekian lama didambakan.
Sejenak, mari kita berpikir dan merenung “ Bagaimana seandainya kita berada di pihak Ibrahim ketika itu”. Siapkah kita mengerjakan perintah-Nya? Relakah kita kehilangan orang yang kita cinta tanpa alasan yang jelas? Belum tentu. Itulah jawaban yang sangat mungkin (kalau tidak mau dikatakan seratus persen tidak). Apalagi jika melihat realita kehidupan kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita lebih terpesona oleh gemerlap dunia bahkan tidak jarang menganggap cinta adalah segalanya.
Lain halnya dengan Ibrahim. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyoal dan mempermasalahnkan keputusan Tuhan. Tak pernah dia bertanya: “Tuhan, mengapa Engkau memerintahkan demikian? Bukan-kah Engkau tahu bahwa Ismail adalah tambatan hatiku?”. Malah dengan sangat bijak, demokratis, lembut dan penuh kasih dia ceritakan perihal wahyu tersebut pada Ismail: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?!" Dengan tidak kalah menejutkan, tanpa ragu-ragu Ismail menjawab:” "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” Selanjutnya, “ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman". Demikian al-Qur’an berkisah tentang cinta dan pengorbanan mereka yang pada gilirannya kita dapat mengenal istilah “berkurban” dalam Islam dan tentunya hal itu juga bisa kita jadikan upaya mengenang peristiwa besar tersebut.

Belajar Cinta
Dalam sejarah kehidupan, cinta bukanlah hal baru tapi uniknya, ia tak pernah basi dibicarakan. Sejak zaman manusia mengenal kehidupan, sampai sekarang, bahkan sampai kiamat sekalipun cinta akan selalu menarik dibahas. Cinta adalah pembunuh, cinta adalah penderitaan, cinta adalah buta, cinta adalah… adalah… dan seterusnya… demikian manusia mendefinisikan dan mempersepsikan cinta semata-mata menurut yang mereka rasa, pengalaman pribadi maupun orang lain. Namun tak ada satupun definisi atau persepsi tentang cinta yang cukup mampu menyingkap kesejatian dan menjelaskan maknanya yang terdalam.
Nah, Islam hadir di tengah-tengah umat manusia dengan segala petunjuk yang sangat nyata, cahaya yang begitu terang dan aturannya yang mencakup segala aspek kehidupan menembus ruang dan waktu, tentunya tanpa terkecuali masalah cinta sekalipun tak luput dari perhatiannya. Islam menempatkan cinta sebagai anugerah agung, pemberian yang harganya tak ternilai dan karunia yang tak mungkin diperjual-belikan. Bahkan, dengan tegas menjadikan cinta sebagai salah satu barometer kesempurnaan iman seorang muslim; sebagaimana disebutkan dalam hadits:" tidak beriman salah seorang dari kalian sebelum ia mencintai saudaranya sebagaiman ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari no. 13, Muslim no. 45).
Jadi, Islam tak pernah melarang siapapun mencinta dan dicinta, merindu dan dirindu selama rasa itu tidak ditempatkan di atas cinta pada Pemiliknya, dan selama sesuai dengan aturan yang telah digariskan oleh-Nya. karena hanya cinta kepada dan karena Allah-lah yang akan membawa pada kebahagiaan yang hakiki sekaligus mengantarkan pada kenikmatan sorgawi dan menuntun mencapai cinta sejati.Atau meminjam istilah Aluf Labini yaitu “cinta yang tak akan pupus oleh waktu, tak akan lapuk oleh panasnya sinar mentari juga tak akan terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan badai kehidupan”. Cinta model inilah yang dipraktekan dan dimiliki oleh Ibrahim dan Ismail. Keduanya sadar bahwa penempatan yang salah hanya akan menyengsarakan, mengalirkan air mata penyesalan dan seterusnya. Dalam alQur’an Allah berfirman: “Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At Taubah: 24). Oleh karena itu, tidak heran kiranya jika keduanya mendapat pujian langsung dari Allah dan kisahnya pun diabadikan dalam firmannya, al-Quran.

Nilai Sebuah Pengorbanan
Kata orang, "Ungkapan cinta akan hampa tanpa makna saat ia hanya di bibir saja". Tanpa harus memperdebatkan validilitas ungkapan tersebut ataupun mencoba mempertanyakan sumbernya, barangkali tidak salah jika kita meng-iyakan, mengingat kenyataan di lapangan bahwa “hampir” setiap orang dengan mudahnya berbicara ketulusan, bersyair tentang kerinduan dan mengungkapkan kata-kata cinta di hadapan pujaan hatinya. Tapi apakah semua itu cukup membuktikan kebenaran isi hati juga perasaan yang tersembunyi? Ternyata tidak. Cinta masih membutuhkan banyak hal, termasuk sebuah pengorbanan. Contoh, sebagai bukti kebesaran cinta Ibrahim kepada Allah, dia rela mengorbankan segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Demikian pula dengan Ismail, demi cintanya kepada Allah dan ketulusan bakti pada sang ayahanda dia rela mengorbankan nyawanya. Subhanallah! Padahal, perintah penyembelihan hanya sebatas mimpi. Tidak lebih. Benar apa yang disebutkan dalam salah satu syair Arab yang artinya: “ Andaikan cintamu tulus nan sejati pasti engkau akan taat kepada-Nya karena sang pecinta akan taat pada yang dicinta”.
Sekali lagi, ini berarti, kata-kata saja tidak cukup, masih butuh bukti, ketulusan dan pengorbanan juga hal lain. Dengan bukti kita akan dipercaya, dengan ketulusan kita akan jauh dari keterpaksaan lalu dengan pengorbanan kita telah menghilangkan segala keraguan yang masih bersemayam.

Aktualisasi Dalam Kehidupan
Berharap kembali ke masa lalu tidak ubahnya seperti berharap mengembalikan mata air ke sumbernya, memutar jarum jam ke belakang atau menarik matahari ke arah dari mana ia terbit. Tapi bukan hal tak mungkin jika kita akan mencapai hal yang sama (atau paling tidak mendekati) jika menempuh jalan atau cara yang sama pula. Kaitannya masalah ini dengan kisah di atas adalah, kita memang tidak mungkin menghadirkan Ibrahim dan Ismail ke zaman kita sekarang atau sebaliknya kita bermaksud kembali ke zaman mereka. Tapi tidak mustahil kita juga akan mendapat pujian dari Allah SWT. dan menggapai cinta-Nya jika kita berusaha meniru mereka berdua yang pada akhirnya akan membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki sekaligus mengantarkan kita pada kenikmatan sorgawi dan menuntun kita mencapai cinta sejati, seperti mereka.
Sebagai hamba, keduanya telah mengajari kita tentang cinta dan cara menempatkannya secara tepat dan benar; membedakan cinta kepada Allah SWT. Denga makhluk-Nya. Sekuat dan sebesar apa pun cinta kepada mkhluk tak pernah sedikit pun membuat terlena, buta, lupa, apalagi mengabaikan perintah-Nya. Kok bisa? Karena mereka telah berhasil menghadirkan “eksistensi” Tuhan dalam jiwa dan hati mereka sehingga untuk berkorban akan terasa mudah dan istilah ketulusan jadinya tidak hanya isapan jempol belaka.
“Yaa Bunayya”, hai anak ku. Begitulah Ibrahim menyapa Ismail, ungkapan lembut penuh kasih. Sebagai seorang ayah, dia telah mengajarkan keterbukaan, sikap demokrasi dengan segala sentuhan dari hati ke hati sehingga dia berhasil menanamkan sikap dewasa dalm jiwa Ismail, juga menanamkan butir-butir ketulusan cinta dalam hatinya sejak usia dini.
Ismail sendiri? Ternyata tidak jauh beda. Konon, sebelum acara penyembelihan di laksanakan, dia berpesan:” Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu , agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya." Lagi-lagi, subhanallah! Dan biarlah hati dan jiwa kita sajalah yang mengomentari ketulusan kata-kata ini.
Dan untuk selanjutnya, marilah kita bertanya pada hati kita masing-masing, atau paling tidak berandai-andai barang sebentar: “ Seandainya seluruh hamba layaknya mereka berdua? “seandainya cemua ayah adalah Ibrahim dan semua anak memiliki karakter sama seperti Ismail, betapa indahnya kehidupan dunia ini?”

Salam, ad. Is-Di.
Read More......

EMANSIPASI WANITA, APANYA YANG SALAH?

“Ibu kita Kartini putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya….”
Sebuah penggalan lagu wajib anak-anak sekolah semenjak usia dini. Ya, sebuah lagu yang dicipta khusus mengenang seorang pahlawan yang bercita-cita luhur seputar kehidupan kaum perempuan. Dialah ibu kita Kartini, seoarang putri Indonesia yang sampai kini harum namanya dan dikenang oleh generasi setelahnya. Dia dikenal sebagai pahlawan yang gigih berjuang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang kala itu masih dipandang senelah mata. Dia berusaha meyakinkan bangsanya bahwa kaum permpuan memiliki hak yang sama, “bebas”, tidak dikekang sebagaimana kaum laki-laki. Tidak boleh di-anaktiri-kan. Tidak boleh diperlakukan semena-mena, dicekal dan dikurung dalam rumah….

Melihat kenyataan ini, barangkali tidak salah jika dia dinobatkan sebagai pahlawan karena keberaniannya yang begitu mengangumkan. Keberanian yang pada masanya dianggap tabu, bermasalah, tidak wajar dan menyalahi tradisi atau tatanan hidup yang sudah mapan.

Kartini dan Isu Emansipasi Wanita
Terlepas dari apa dan siapa yang telah mengilhami dan menginspirasi Kartini, yang jelas kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan pemikiran untuk selalu membela kaum perempuan dan mengangkis mereka dari ketertinggalan ternyata tidak sia-sia, dan tidak hanya menjadi kisah yang hilang begitu saja seiring berjalannya waktu. Tapi cukup memberi pengaruh yang sangat besar dan meluas serta direspon positif oleh berbagai golongan. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa dalam berbagai forum pertemuan -baik formal maupun non formal, seringkali tidak pernah lepas dari pembahasan seputar emansipasi wanita. Di mana-mana sering kita dengar suara lantang dengan mengusung sebuah jargon,”menjungjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan”. Di sana-sini juga menyuarakan hal yang sama, toh walaupun dengan cara yang berbeda, misalnya, berangkat dari istilah HAM (Hak Asasi Manusia), kesetaraan gender dan lain sebagainya.
Lalu apanya yang salah dengan yang mereka lakukan? Pada dasarnya memang tidak ada yang salah dengan upaya membela kaum yang lemah dan menolong mereka yang teraniaya tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Tidak salah menunutut keadilan. Sama sekali tidak salah asalkan dengan cara yang benar. Bahkan bisa jadi sebuah keharusan dan perlu diperjuangkan. Hanya saja banyak hal yang perlu digaris bawahi dari apa yang telah mereka perjuangkan selama ini. Tentunya jika melihat kenyataan di lapangan.
Apa yang mereka perjuangkan atas nama emansipasi wanita, HAM, kesetaraan gender malah sering kali kebablasan, yang pada gilirannya senboyan atau jargon “menjunjung tinggi hak dan martabat kaum perempuan”, membela kaum yang tertindas dan sebagainya pun kian kabur. Bahkan tidak jarang terkesan hanya memperkeruh suasana dan menambah masalah di masyarakat. Seperti terkait berpenampilan lawan jenis, budaya buka-bukaan, pamer aurat, menjajakan diri yang semakin hari kian menjamur. Kebebasan dan kesetaraan gender yang mereka gembar-gemborkan seakan tanpa batas. Ironisnya lagi, banyak yang sampai berani menggugat aturan yang sudah jelas sakral (baca: agama). Diantara contoh yang paling mencolok dalam masalah ini adalah yang berhubungan dengan hak warits, dan nikah beda agama. Dalam hak warits, mereka menuntut kesama-rataan dalam pembagiannya. Dalam masalah nikah beda agama, mereka menghendaki kebebasan sepenuhnya.

So?
Sebenarnya, dalam Islam sama sekali tidak ada deskriminasi terhadap kaum perempuan. Tidak memandang mereka sebelah mata. Tidak merendahkan apalagi menghinakan mereka. Islam malah sangat memuliakan, dan menjujnjung tinggi harkat dan martabat mereka. Ini terbukti misalnya dengan ajarannya yang sangat luhur supaya seorang anak harus memperlakukan orang tuanya secara baik, sampai-sampai kita mengenal, “sorga berada di bawah telapak kaki ibu” dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan ketidak-samaan dalam pembagian hak warits dan larangan nikah beda agama? Mana letak keadilan Islam? Kalau kita mau jujur, sebenarnya dengan adanya aturan tersebut keadilan Islam lebih tampak. Islam menempatkan manusia secara proposional. Di tempat yang selayaknya. Yang sesuai dengan kodratnya masing-masing.
Jadi, sangat tidak pantas jika kita masih meragukan keadilan agama. Tidak perlulah kaum permpuan berotot layaknya kaum laki-laki karena memang kodrat mereka seperti itu. Dan tidak perlu pula pusing-pusing, kesana-kemari menunutut kesamaan hak warits, wong pada prinsipnya mereka tidak berkewajiban menafkahi keluarganya. Beda dengan kaum laki-laki, mereka dibebani kewajiban tersebut. Ringkasnya, maklumlah jika karena alasan yang demikian Islam kemudian melebihkan mereka dalam pembagian hak warits. Demikian pula dengan masalah adanya larangan nikah beda agama, yakni kaum muslim dilarang menikah dengan non muslim, selain dari kalangan ahli kitab. Yang diperbolehkan dari kalngan ahli kitab sekalipun tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi; antara lain, harus laki-lakinya yang muslim, dan tidak boleh jika sebaliknya.
Kesimpulannya adalah, bahwa setiap aturan, perintah dan larangan agama tidak pernah lepas dari hikmah dan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allahu a’la.

Salam, Ad. Is-Di.
Read More......

HUKUM BERTAWASSUL

Pengertian Tawassul
Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam selama ini adalah bahwa: tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya, dan jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo’a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.


Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti Hadits yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya, Qoidah Jalilah fii Attawasul wal Wasilah hal 160)

Tawassul dengan orang sholeh
Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di sisi Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan: ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh.
Sebenarnya, kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul
Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nashAl-Qur’an maupun Hadits, sebagai berikut:

A. Dalil dari Al-Qur’an.
1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya..”
Surat Al-Isra’ 57:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةأَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنّعَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”.
Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.

2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).
قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”.
Nabi Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT.Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan “ayyuhum aqrabu”, yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan Nabi Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah
بِمَا عَهِدَ عِندَكَ
“Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian)”.

Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.

4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

B. Dalil dari Hadits
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir
Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur (Barangkali yang benar adalah: Annaisabur, ed) meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك. أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص:615)
“Rasulullah SAW. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman:”Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?” Adam menjawab:”Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis “Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab:”Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”

Imam Hakim berkata bahwa Hadits ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa Hadits ini adalah shohih.
Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi :
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار. أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615)
Beliau mengatakan bahwa Hadits ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Al-Bulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya, Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya, Bidayah Wannihayah 1/180. Walaupun dalam menghukumi Hadits ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.
Diriwatyatkan oleh Imam Hakim:
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. أخرجه الحاكم فىالمستدرك)

Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat” Rasulullah berkata”Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:”bacalah doa (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat”. Utsman berkata:”Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”. (HR. Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa Hadits ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa Hadits ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa Hadits ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya, Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah meninggal.
Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :
عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق (أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)
Dari Aus bin Abdullah: “Sautu hari kota Madinah mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk”(HR. Imam Addarimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:”Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.

d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .
عن أبى سعيد قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك. أخرجه بن ماجه.
Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda:”Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu”, maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya”. (HR. Ibnu Majah).

Imam Mundziri mengatakan bahwa Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma’qool (mungkin maksudnya adalah: Maqool {Masih jadi perbincangan di kalangan ulama}’, sekali lagi mungkin, ed), akan tetapi Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa Hadits ini adalah hasan.(Targhib Wattarhib 2/ 119). Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa Hadits ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Al Afkar 1/272).

Imam Al I’roqi dalam mentakhrij Hadits ini di kitab Ihya’ Ulumiddin mengatakan bahwa Hadits ini adalah hasan, (1/323).Imam Bushoiri mengatakan bahwa Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Hadits ini shohih, (Mishbah Al Zujajah 1/98).

Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul
Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu.Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya.Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika di sini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Pandangan Ulama Madzhab
Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya: ”Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab: ”Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat”. (Al-Syifa’ karangan Qadli ‘Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :”Syafii ibarat matahari bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita”
(شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
(العواصق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)
“Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad [?, ed]),aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku”

Pandangan Imam Taqyuddin Assubuki
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat Islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)

Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :

أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ. أخرجه الترمذى وصححه

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)”Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku syafa’at”.Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

Pandangan Imam Syaukani
Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shohabat.

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab.
Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh, dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah :“Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah (surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad bin Suud (barangkali yang benar adalah: sa’uud, ed) Riyadl bagian ketiga hal 68)

Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang biasanya dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”.
Orang yang bertawassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, jelas terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul, sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah, 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Jadi menurut logika mereka, Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah?.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin, ayat 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah. Demikian menurut pemahaman mereka. sekali lagi kita jawab: Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah.Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.

Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’.Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan Hadits-Hadits yang telah dipaparkan di atas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat Islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Qur’an dan Hadits.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan.Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid’ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita.Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat.Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid’ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.

Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam. Atau meminta-minta ke makam wali-wali Allah, padahal semestinya bukanlah memintainya secara hakiki, melainkan seharusnya bertawassul kepada para ulama dan kekasih Allah itu, agar Allah SWT berkenan memberi apa yang diinginkannya. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.Wallahu a’lam bissowab

http://agusza.wordpress.com/2007/03/28/hukum-berdoa-dengan-tawassul/
(March 28, 2007Posted by agusza in Aswaja. Trackback. Dengan sedikit perubahan dari editor, ad)
Read More......

Minggu, 02 Mei 2010

Syekh Yusuf Al-Qardhawi

Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur'an. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.


Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.

Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.

Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rejim saat itu.

Qardhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.

Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.

Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.

Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.

Profil Syekh Yusuf Al-Qardhawi dapat diikuti secara lengkap di situs Hidayatullah.
Read More......

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili: lahir pada tahun 1351 H / 1932 M di Dir Athiyah Damaskus (Syria). Ayahnya bernama Syekh Musthafa Zuhaili, seorang ulama sekaligus hafiz al-Qur’an dan ahli ibadah, hidup sebagai petani. Sewaktu kecil, Wahbah belajar di Sekolah Dasar (Ibtidaiyyah) dan Menengah (Tsanawiyah) di Kuliah Syar’iyah. Keduanya di Damaskus.

Beliau memperoleh gelar sarjananya dari Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar pada tahun 1956 M. Beliau juga memperoleh ijazah takhassus mengajar dari Fakultas Bahasa Arab di al-Azhar. Di sela-sela staudinya di al-Azhar dia juga belajar Ilmu Hukum dan mendapatkan lisensi dari Universitas ‘Ain Syams dengan predikat magna cum laude tahun 1957. Meraih gelar Magister di bidang syari’ah tahun 1959 dari Fakultas Hukum Universitas Kairo. Gelar doktor di bidang hukum (Syariat Islam) dia peroleh pada tahun 1963 dengan predikat summa cum laude.

Pada tahun 1963 M, beliau diangkat sebagai dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wa Madzahibuh di fakultas yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyah.

Selain mengajar dan menulis banyak karya ilmiah, dia juga rajin memberi kuliah umum di berbagai universitas. Dalam sehari beliau bekerja sampai 16 jam. Lebih dari 40 genarasi di Syria telah berhasil dididiknya, dan sebagian berada di Libya, Sudan, dan Emirat Arab. Ribuan pelajar, bahkan jutaan di Barat maupun Timur, Amerika, Malaysia, Afganista, dan Indonesia telah mempelajari kitabnya tentang fiqih, ushul fiqih, dan tafsir.
Kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu dijadikan sumber primer oleh banyak mahasiswa di berbagai Universitas di dunia seperti Pakistan, Sudan, Indonesia dan lain sebagainya. Kitabnya yang berjudul Ushul al-Fiqh al-Islami dijadikan buku wajib di beberapa Universitas Islam di Madinah dan Riyad.

Beliau juga sibuk di beberapa lembaga pemerintah maupun swasta sebagi Ketua Dewan Pengawas Syari’ah di beberapa bank dan perusahan, sekaligus sebagai Dewan Pakar di bidang hukum Islam dan peradaban Islam.

Selain belajar berbagai disiplin ilmu secara intens, beliau juga belajar secara khusus Fiqih Syafi’i kepada beberapa gurunya berikut: Syaikh Hasyim al-Khathib, Syaikh Jad ar-Rabb Ramadhan, Syaikh Mahmud Abdu ad-Daim, dan Syaikh Musthafa Mujahid.

Sebagai ulama dan pemikir Islam, Prof. Dr. Wahbah Zuhaili telah menulis lebih dari 30 judul buku yang berjilid-jilid. Salah satunya adalah Fiqih al-Imam asy-Syafi’i yang ada di hadapan Anda ini.

http://almahira.com/ib/ruang-informasi/profil-penulis/1223-wahbah-zuhaili.html

Read More......

Bahtsul Masail

Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il XVIII

FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN
SE - JAWA - MADURA
PP. Mamba’ul Ulum Mantenan Udanawu Blitar, -9 Muharram 1430 H./21-22 Januari 2009 M.
Komisi¬¬¬ - C
J A L S A H U L A
M U S H O H H I H P E R U M U S M O D E R A T O R
1. KH. Ardani
2. KH. Hadiqunnuha
3. K. Ali Mushthafa
4. K. Munir Akromin
5. Bpk. Thahari Muslim
6. Bpk. Abd. Mannan 1. Bpk. Hisbullah Al-Haqq
2. Bpk. Achmad Adibuddin
3. Bpk. M. Syahrul Munir
4. Bpk. M. Anas
5. Bpk. A. Thalhah
6. Bpk. H. Jazuli M. Ma’mun
7. HM. Abdurrahman Al-Kautsar
8. M. Ayman Al-Akiti
Arif Ridlwan Akbar

N O T U L E N
Ali Hidlir

M E M U T U S K A N

1. FATWA HARAM YOGA DI MALAYSIA
Deskripsi
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia (MFKM), Sabtu (22/11) lalu mengumumkan bahwa Yoga itu haram buat seorang Muslim jika dilakukan secara sistematik yang terdiri dari gerakan fisik, baca mantera (doa-doa) Hindu, dan meditasi yang menyatukan diri manusia dengan Tuhan.
Tapi Yoga yang mana yang dilarang MFKM. "Jika dilakukan secara sistematik yang mengandung ketiga unsur tadi maka hal itu bertentangan dengan syariat Islam. Haram hukumnya", kata ketua MFKM Prof. Dr. Abdul Shukor Husin, dalam jumpa pers di Putrajaya, Sabtu. Tapi jika melakukan yoga sebagai suatu senam atau olah raga saja itu tidak diharamkan, namun umat Islam disarankan untuk tetap tidak melakukannya, karena khawatir masuk lebih jauh kepada yoga sistematik, kata Abdul Shukor.
MFKM mengeluarkan fatwa bukan sembarangan. Larangan itu dikeluarkan setelah melakukan kajian dan penelitian. "Setelah meneliti dan mengkaji semua masukan, serta mempelajari Yoga yang berasal dari masyarakat Hindu sebelum masehi ternyata merupakan gabungan gerakan fisik, unsur religius, doa dan pemujaan untuk mendapatkan ketenangan yang akhirnya seolah-olah sudah menyatu dirinya dengan Tuhan. Ini tidak sesuai dan merusak akidah," katanya.

Pelarangan Yoga sistematik bagi umat Islam berlaku juga di Singapura dan Mesir. Jadi Malaysia tidak sendirian dan juga tidak yang pertama mengharamkan Yoga sistematik, tambah dia. Fatwa MFKM itu muncul setelah seorang dosen di UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) Prof. Zakaria Stapa menasihatkan orang Islam yang mengikuti senam Yoga untuk menghentikannya karena dapat mengganggu akidah. "Sholat jauh lebih membuat ketenangan jiwa dibandingkan yoga", kata Zakaria.
Di pihak lain, manager program SIS, sebuah organisasi Islam yang moderat di Malaysia, Norhayati Kaprawi mengatakan kepada harian The Star, banyak muslim di Malaysia melakukan yoga sebagai suatu olahraga untuk menjaga kesehatan. "Saya tidak sampai berpikiran Yoga menjadi penyebab seorang muslim pindah menjadi Hindu atau mengurangi keyakinannya terhadap Islam. Yoga hanyalah sebuah olahraga seperti qigong atau taichi yang akarnya adalah Budha," kata Norhayati.
Secara realitas, Yoga digunakan untuk senam kesehatan di berbagai gym atau tempat fitnes. Dari berbagai tempat tersebut, sangat jarang ada gym atau tempat fitnes yang menyuruh doa atau perkara-perkara yang dapat merusak akidah karena Yoga hanya digunakan untuk senam kesehatan. Malah instrukturnya aja banyak yang Muslim, Kristen, Yahudi, atau agama lain (bukan Hindu). Kalau pun ada klaim yang mengatakan ada gym yang mengintruksikan untuk melakukan doa-doa yang haram tersebut, sifatnya hanya kasuistik, bukan representatif pada gym-gym yang lain yang hanya bertujuan senam kesehatan.
(Pon-Pes Roudlatul Ulum Kencong Pare)
Pertanyaan
a. Apakah hukum melakukan praktek Yoga dengan pertimbangan sejarah yoga, serta kenyataan yang berlaku?
b. Bagaimana batas-batas sebuah ibadah agama lain yang telah melepaskan nilai ritualitasnya menjadi sebuah kegiatan biasa (seperti olah raga dll) yang diperbolehkan oleh syariah?
Jawaban
a. Haram kecuali bila memenuhi semua syarat di bawah ini :
 Yoga bukan lagi ritual khusus Hindu.
 Terbebas dari motif tasyabbuh (قصد التشبه).
 Tidak menimbulkan simpati terhadap akidah kafir.
 Tidak dilakukan secara sistematik dan hanya murni sebagai senam atau olahraga.
b. Bila memenuhi poin pengecualian di atas.
¬¬¬

    R E F E R E N S I    
1. Bughyah Al-Mustarsyidîn hlm. 248 & 283-284
2. Nihayah Al-Muhtâj vol. II hlm. 374
3. Majmû’ Fatawâ Rasâ’il hlm. 183
4. Tafsir Ar-Râzy vol. V hlm. 284
5. Ihya’ Ulumiddîn vol. II hlm. 269-270 6. Faidlul Qadîr vol. III hlm. 136, & vol. V hlm. 271
7. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb vol. XIII hlm. 347
8. I’ânah Ath-Thâlibîn vol. III hlm. 263
9. Radd Al-Muhtâr vol. IV hlm. 452

1. بغية المسترشدين صـ 248
(مسئلة ى) حاصل ما ذكره العلماء فى التزيى بزى الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلا إلى دينهم وقاصدا التشبه بهم فى شعائر الكفر أو يمشى معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم فى شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء فى الصلاة اهـ
2. الفتاوى الكبرى الفقهية
فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبيه بهم في شعار الكفر كفر قطعا أو في شعار العبد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبيه بهم أصلا ورأسا فلا شيء عليه ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم {من تشبه بقوم فهو منهم}.
3. إحياء علوم الدين الجزء الثاني ص: 269-270 دار إحياء الكتب العربية
لما أن صار من عادة أهل الفسق فيمتنع من التشبه بهم لأن من تشبه بقوم فهو منهم وبهذه العلة نقول بترك السنة مهما صارت شعارا لأهل البدعة خوفا من التشبه بهم وبهذه العلة يحرم ضرب الكوبة وهو طبل مستطيل دقيق الوسط واسع الطرفيه وضربها عادة المخنـثـين ولولا ما فيه من التشبه لكان مثل طبل الحجيج والغزو وبهذه العلة نقول لو اجتمع جماعة وزينوا مجلسا وأحضروا آلات الشرب وأقداحه وصبوا فيها السكنجبين ونصبوا ساكيا يدور عليهم ويسقيهم فيأخذون من الساقي ويشربون ويحي بعضهم بعضا بكلماتهم المعتادة بينهم حرم ذلك عليهم وإن كان المشروب مباحا في نفسه لأن في هذا تشبها بأهل الفساد بل لهذا ينهى عن لبس القباء وعن ترك الشعر على الرأس قزعا في بلاد صار القباء فيها من لباس أهل الفساد ولا ينهى عن ذلك فيما وراء النهر لاعتياد أهل الصلاح ذلك فيهم .
4. نهاية المحتاج جـ 2 صـ 374
أو محمول على أن مراده من جنس زي النساء لا أنه زي مخصوص بهن وقد ضبط ابن دقيق العيد ما يحرم التشبه بهن فيه بأنه ما كان مخصوصا بهن فى جنسه و هيئته أو غالبا فى زيهن وكذا يقال فى عكسه (قوله وكذا يقال فى عكسه) ومنه ما يقع لنساء العرب من لبس البشوت وحمل السكين على الهيئة المختصة بالرجال فيحرم عليهن ذلك وعلى هذا فلو اختصت النساء أو غلب فيهن زي مخصوص فى إقليم وغلب فى غيره تخصيص الرجال بذلك الزي كما قيل أن نساء قرى الشام يتزين بزي الرجال الذين يتعاطون الحصاد والزراعة ويفعلن ذلك فهل يثبت فى كل إقليم ما جرت عادة أهله أو ينظر لأكثر البلاد ؟ فيه نظر والأقرب الأول ثم رأيت فى حج نقلا عن الأسنوى ما يصرح به وعبارته: وما أفاده: أى الأسنوى من أن العبرة فى لباس وزي كل من النوعين حتى يحرم التشبه به فيه يعرف كل ناحية حسن اهـ وعليه فليس ما جرت به عادة كثير من النساء بمصر الآن من لبس قطعة شاش على رءوسهن حراما لأنه ليس بتلك الهيئة مختصا بالرجال ولا غالب فيهن فليتنبه له فانه دقيق وأما ما يقع من الباسهن ليلة جلائهن عمامة رجل فينبغى فيه الحرمة لأن هذا الزي مخصوص بالرجال اهـ
5. مجموع فتاوى ورسائل للإمام السيد العلوى المالكى الحسنى صـ 183
وأما ما كان خاصا بالكفار وزيا من أزيائهم التى جعلوها علامة لهم كلبس برنيطة وشد زنار وطرطور يهودي وغير ذلك فمن لبسه من االمسلمين رضا بهم وتهاونا باالدين وميلا للكافرين فهو كفر وردة والعياذ بالله ومن لبسه استخفافا بهم واستحسانا للزي دون دين الكفر فهو اثم قريب من المحرم واما من لبسه ضرورة كأسير عند الكفار ومضطر للبس ذلك فلا بأس به وكمن لبسه وهو لا يعلم انه زي خاص بالكفار وعلامة عليهم أصلا لكن اذا علم ذلك وجب خلعه وتركه وأما ما كان من الألبسة التى لا تختص بالكفار وليس علامة عليهم اصلا بل هو من الألبسة العامة المشتركة بيننا وبينهم فلا شيء فى لبسه بل هو حلال جائز وقال العز ابن عبد السلام واما فعلوا على وفق الإيجاب والندب والإباحة فى شرعنا فلا يترك لأجل تعاطيهم إياه فإن الشرع لا ينهى عنه على التشبه بما أذن الله اهـ
6. فيض القدير جـ 6 صـ 104 المكتبة التجارية الكبرى
من تشبه بقوم أى تزيا فى ظاهره بزيهم وفى تعرفه بفعلهم وفى تخلقه بخلقهم وسار بسيرتهم وهديهم فى ملبسهم وبعض أفعالهم أى وكان التشبه بحق قد طابق فيه الظاهر الباطن فهو منهم وقيل المعنى من تشبه بالصالحين وهو من أتباعهم يكرم كما يكرمون ومن تشبه بالفساق يهان ويخذل كهم ومن وضع عليه علامة الشرف أكرم وإن لم يتحقق شرفه وفيه أن من تشبه من الجن بالحيات وظهر بصورتهم قتل وأنه لا يجوز الآن لبس عمامة زرقاء أو صفراء كذا ذكره ابن رسلان وبأبلغ من ذلك صرح القرطبى فقال لو خص أهل الفسوق والمجون بلباس منع لبسه لغيرهم فقد يظن به من لا يعرفه أنه منهم فيظن به ظن السوء فيأثم الظان والمظنون فيه بسبب العون عليه وقال بعضهم قد يقع التشبه فى أمور قلبية من الاعتقادات وإرادات وأمور خارجية من أقوال وأفعال قد تكون عبادات وقد تكون عادات فى نحو طعام ولباس ومسكن ونكاح واجتماع وافتراق وسفر وإقامة وركوب وغيرها وبين الظاهر والباطن ارتباط ومناسبة وقد بعث الله المصطفى  بالحكمة التى هى سنة وهى الشرعة والمنهاج الذي شرعه له فكان مما شرعه له من الأقوال والأفعال ما يباين سبيل المغضوب عليهم والضالين فأمر بمخالفتهم فى الهدى الظاهر فى هذا الحديث وإن لم يظهر فيه مفسدة لأمور منها أن المشاركة فى الهدى فى الظاهر تؤثر تناسبا وتشاكلا بين المتشابهين تعود إلى موافقة ما فى الأخلاق والأعمال وهذا أمر محسوس فإن لابس ثياب العلماء مثلا يجد من نفسه نوع انضمام إليهم ولابس ثياب الجند المقاتلة مثلا يجد من نفسه نوع تخلق بأخلاقهم وتصير طبيعته منقادة لذلك إلا أن يمنعه مانع ومنها أن المخالفة في الهدي الظاهر توجب مباينة ومفارقة توجب الانقطاع عن موجبات الغضب وأسباب الضلال والانعطاف على أهل الهدى والرضوان ومنها أن مشاركتهم في الهدي الظاهر توجب الاختلاط الظاهر حتى يرتفع التمييز ظاهرا بين المهديين المرضيين وبين المغضوب عليهم والضالين إلى غير ذلك من الأسباب الحكيمة التي أشار إليها هذا الحديث وما أشبهه وقال ابن تيمية هذا الحديث أقل أحواله أن يقتضي تحريم التشبه بأهل الكتاب وإن كان ظاهره يقتضي كفر المتشبه بهم فكما في قوله تعالى ومن يتولهم منكم فإنه منهم المائدة وهو نظير قول ابن عمرو من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت حشر يوم القيامة معهم فقد حمل هذا على التشبه المطلق فإنه يوجب الكفر ويقتضي تحريم أبعاض ذلك وقد يحمل منهم في القدر المشترك الذي شابههم فيه فإن كان كفرا أو معصية أو شعارا لها كان حكمه كذلك في اللباس.
7. بغية المسترشدين صـ 283-284 دار الفكر
(مسئلة) ضابط التشبه المحرم من تشبه الرجال بالنساء وعكسه ما ذكروه فى الفتح والتحفة والإمداد وشن الغارة وتبعه الرملى فى النهاية هو أن يتزيا أحدهما بما يختص بالآخر أو يغلب اختصاصه به فى المحل الذى هما فيه -إلى أن قال- وما ذكره من التصفيق وما بعده فقد اختلف فى تحريمه أما التصفيق باليد خارج الصلاة من الرجل فقال م ر بحرمته حيث كان للهو أو قصد به التشبه بالنساء ومال ابن حجر إلى كراهته ولو بقصد اللعبب وأما الضرب بالدف فصرح ابن حجر بأن المعتمد حله بلا كراهة ونقل عن بعض مشايخنا حرمته إن أكثر منه أم هو بتكسر وتثن فحرام مطلقا حتى على النساء كما صرح به فى كف الرعاع إلخ
8. حاشية البجيرمي على الخطيب جـ 13 صـ 347
وأول من لبس الطيلسان بالمدينة جبير بن مطعم وعن الكفاية لابن الرفعة أن ترك الطيلسان للفقيه مخل بالمروءة أي وهو بحسب ما كان في زمنه ا هـ من السيرة الحلبية وفي المناوي على الخصائص روى الترمذي بسند ضعيف عن ابن عمر مرفوعا (ليس منا أي من العاملين بهدينا والجارين على منهاج سنتنا من تشبه بغيرنا) أي من أهل الكتاب في نحو ملبس وهيئة ومأكل ومشرب وكلام وسلام وتكهن وتبتل ونحو ذلك (لا تشبهوا باليهود ولا بالنصارى فإن تسليم اليهود إشارة بالأصابع وتسليم النصارى الإشارة بالأكف) ولا منافاة بين هذا الخبر وبين خبر (لتتبعن سنن من كان قبلكم) وخبر (ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة) لأن المراد هنا أن جنس مخالفتهم وتجنب مشابهتهم أمر مشروع وأن الإنسان كلما بعد عن مشابهتهم فيما لم يشرع لنا كان أبعد عن الوقوع في نفس المشابهة المنهي عنها قال السمهودي واستدل بهذا الخبر على كراهة لبس الطيلسان لأنه من ملابس اليهود والنصارى وفي مسلم (إن الدجال يتبعه اليهود عليهم الطيالسة) وعورض بما خرجه ابن سعد (أنه سئل عن الطيلسان فقال هذا ثوب لا يؤدى شكره) وبأن الطيالسة الآن ليست من شعارهم بل ارتفع في زماننا وصار داخلا في عموم المباح وقد ذكره ابن عبد السلام في البدع المباحة. قال ابن حجر: وقد يصير من شعار قوم فيصير تركه مخلا بالمروءة ا هـ
9. رد المحتار جـ 4 صـ 452
مطلب في التشبه بأهل الكتاب (قوله لأن التشبه بهم لا يكره في كل شيء) فإنا نأكل ونشرب كما يفعلون بحر عن شرح الجامع الصغير لقاضي خان ويؤيده ما في الذخيرة قبيل كتاب التحري. قال هشام: رأيت على أبي يوسف نعلين مخصوفين بمسامير فقلت: أترى بهذا الحديد بأسا ؟ قال لا قلت: سفيان وثور بن يزيد كرها ذلك لأن فيه تشبها بالرهبان فقال (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلبس النعال التي لها شعر) وإنها من لباس الرهبان فقد أشار إلى أن صورة المشابهة فيما تعلق به صلاح العباد لا يضر، فإن الأرض مما لا يمكن قطع المسافة البعيدة فيها إلا بهذا النوع. ا هـ وفيه إشارة أيضا إلى أن المراد بالتشبه أصل الفعل: أي صورة المشابهة بلا قصد .
10. تفسير الرازي جـ 4 صـ 168
واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة فإن قيل أليس أنه تعالى قال (وَمَن يَفْعَلْ ذلك فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء) وهذا لا يوجب الكفر فلا يكون داخلاً تحت هذه الآية لأنه تعالى قال (يا أيها الذين آمنوا) فلا بد وأن يكون خطاباً في شيء يبقى المؤمن معه مؤمناً. وثانيها المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع منه. والقسم الثالث وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة والمظاهرة والنصرة إما بسبب القرابة أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه وذلك يخرجه عن الإسلام فلا جرم هدد الله تعالى فيه فقال (وَمَن يَفْعَلْ ذلك فَلَيْسَ مِنَ الله فِي شَىْء).
11. فتاوى عصرية فضيلة الشيخ علي جمعة صـ 453
سؤال: ما حكم الشرع في رياضة اليوجا وهل ممارستها تخالف الشريعة الإسلامية أم لا؟ جواب: تعد اليوجا من طروق التمسك الهندوكية فلا يجوز اتخاذها طريقا للعبادة -إلى أن قال- فاتخاذها بهذه الصفة التعبدية ضلال قطعا. أما من يقوم بحركات تشبهها ولم تختر بباله ارتباطها بتمسك الهندونك فهو من باب التشبه المنهي عنه شرعا والأصل في ذلك ما ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهى في كثير من أحاديثه عن التشبه بغير المسلمين في ملبسهم ومشربهم ومأكلهم فهذا التشبه من باب الحرام.


J A L S A H T S A N I Y Y A H
M U S H O H H I H P E R U M U S M O D E R A T O R
1. KH. Ardani
2. KH. Hadiqunnuha
3. K. Ali Mushthafa
4. K. Munir Akromin
5. Bpk. Thohari Muslim
6. Agus Ibrahim A. Hafidz 1. Bpk. Hisbullah Al-Haqq
2. Bpk. Achmad Adibuddin
3. Bpk. M. Syahrul Munir
4. Bpk. M. Anas
5. Bpk. A. Thalhah
6. Bpk. H. Jazuli M. Ma’mun
7. HM. Abdurrahman Al-Kautsar
8. M. Ayman Al-Akiti
Fathur Rozi

N O T U L E N
Ali Hidlir

M E M U T U S K A N

2. PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
Deskripsi
Kasus pernikahan dini antara HM. Pudjiono Cahyo Widianto (Syech Puji), seorang pengusaha kaya raya dengan Lutfiana Ulfah anak yang lahir 13 Desember 1995 benar-benar membuat gempar Komisi Nasional (KOMNAS) Perlindungan Anak. Setelah dikonfikrmasi ternyata Syech Puji mendapatkan Ulfa dengan cara sayembara. Namun pernikahan tersebut direspon oleh KOMNAS PA karena status Ulfa yang masih belia dan pernikahan itu bisa merusak masa depannya. Setelah konflik yang panjang timbullah kesepakatan antara Syech Puji dan KOMNAS untuk mengembalikan Ulfah pada orang tuanya dan menunggu sampai umur 16 tahun.
(Pon-Pes Tarbiyatun Nasi'ien Pacul Gowang Jombang)
Pertanyaan
a. Bagaimana hukum intervensi KOMNAS mengembalikan Ulfa pada orang tuanya sesuai deskripsi di atas?
Jawaban
a. Dapat dibenarkan karena intervensi tersebut dinilai maslahah.

    R E F E R E N S I    
1. Qowâ’id al Ahkâm vol. II, hlm. 89
2. Mausû’ah Fiqhiyah vol II, hlm. 8968 3. Bughyah al Musarsyidîn hlm. 91
4. Hâsyiah al Syarwâny vol. X, hlm. 69
5. Nihâyah al Muhtâj vol. 6, hlm. 340

1. قواعد الأحكام الجزء الثاني صـ : 89
فصل في تصرف الولاة ونوابهم يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد وجلبا للنفع والرشاد ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة ولا يتخيرون في التصرف حسب تخيرهم في حقوق أنفسهم مثل أن يبيعوا درهما بدرهم أو مكيلة زبيب بمثلها لقول الله تعالى : { ولا تقربوا مال اليتيم إلا بالتي هي أحسن } وإن كان هذا في حقوق اليتامى فأولى أن يثبت في حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الأئمة من الأموال العامة ; لأن اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة وكل تصرف جر فسادا أو دفع صلاحا فهو منهي عنه كإضاعة المال بغير فائدة وإضرار الأمزجة لغير عائدة والأكل على الشبع منهي عنه ; لما فيه من إتلاف الأموال وإفساد الأمزجة وقد يؤدي إلى تفويت الأرواح ولو وقعت مثل قصة الخضر عليه السلام في زماننا هذا لجاز تعييب المال حفظا لأصله ولأوجبت الولاية ذلك في حق المولى عليه حفظا للأكثر بتفويت الأقل فإن الشرع يحصل الأصلح بتفويت المصالح كما يدرأ الأفسد بارتكاب المفاسد وما لا فساد فيه ولا صلاح فلا يتصرف فيه الولاة على المولى عليه إذا أمكن الانفكاك عنه .
2. الموسوعة الفقهية الجزء الثاني صـ 8968
حقّ الإمام في وضع الأنظمة المستنبطة من الشّريعة 11- تقرير مبدأ سيادة الشّريعة لا يعني حرمان الإمام ومن دونه أهل الحكم والسّلطة من حقّ اتّخاذ القرارات والأنظمة الّتي لا بدّ منها لسير أمور الدّولة. ذلك لأنّ نصوص الشّريعة محدودة ومتناهية وأمّا الحوادث وتطوّر الحياة والمسائل الّتي تواجه الأمّة والدّولة معاً فغير محدودة ولا متناهية. ولا بدّ للإمام وأهل الحكم من مواجهة كلّ ذلك بما يرونه من أنظمة ولكن هذا الحقّ ليس مطلقاً وإنّما هو مقيّد بما لا يخالف النّصوص الشّرعيّة ولا يخرج على مبادئ الإسلام وقواعده العامّة وأن يكون ذلك لمصلحة الأمّة الواجبة الرّعاية والّتي لأجلها قامت الدّولة ولا يكون ذلك إلاّ بعد الرّجوع إلى أهل الخبرة والاختصاص من الفقهاء وغيرهم.
3. بغية المسترشدين – (ص 91) (دار الفكر)
(مسألة ك) يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم. اهـ قلت وقال ش. ق. والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب. اهـ
4. الشرواني جـ 10 صـ 69
( قوله : ظاهرا وباطنا ) فيجب عليهم طاعته فيما ليس بحرام ولا مكروه ومن مسنون وكذا مباح إن كان فيه مصلحة عامة والواجب يتأكد وجوبه بأمره به ومن هنا يعلم أنه إذا نادى بعدم شرب الدخان المعروف الآن وجب عليهم طاعته وقد وقع سابقا من نائب السلطان أنه نادى في مصر على عدم شربه في الطرق والقهاوي فخالف الناس أمره فهم عصاة إلى الآن إلا من شربه في البيت فليس بعاص ; لأنه لم يناد على عدم شربه في البيت أيضا ولو رجع الإمام عما أمر لم يسقط الوجوب شيخنا وقوله فهم عصاة إلى الآن فيه نظر بل الأقرب ما قاله بعضهم أن وجوب امتثال أمر الإمام إنما هو في مدة إمامته فلا يجب بعد موته وقوله ولو رجع الإمام إلخ مر مثله عن ع ش مع ما فيه
5. نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج - ج 6 / ص 340
( ولا تسلم صغيرة ) لا تحتمل الوطء ( ولا مريضة ) وهزيلة بهزال عارض لا يطيقان الوطء ( حتى يزول مانع وطء ) لأنه ربما يحمله فرط الشهوة على الجماع فتتضرر به ويكره لولي صغيرة ولنحو مريضة التسليم قبل الإطاقة ويحرم وطؤها ما دامت لا تحتمله ويرجع فيه بشهادة أربع نسوة وتسلم له نحيفة لا بمرض عارض وإن لم تحتمل الجماع إذ لا غاية تنتظر وتمكنه مما عدا الوطء لا منه إن خافت إفضاءها ولو قال سلموها لي ولا أقربها أجيب وجوبا إلى تسليم مريضة لا صغيرة كما جرى عليه ابن المقري لكن بشرط أن يكون ثقة .
( قوله ولا تسلم صغيرة ) قال في الروض وشرحه : فلو سلمت له صغيرة لا توطأ لم يلزمه تسليم المهر كالنفقة وإن سلمه عالما بحالها أو جاهلا ففي استرداده وجهان كالوجهين فيما لو امتنعت بلا عذر وقد بادر الزوج إلى تسليمه ذكره الأصل ....... ( قوله حتى يزول مانع وطء ) أي ولا نفقة لهما لعدم التمكين وينبغي أن مثلهما من استمهلت لنحو التنظيف وكل من عذرت في عدم التمكين ( قوله : إن خافت إفضاءها ) أي أو ما لا يحتمل من المشقة ا هـ سم على حج ( قوله : بشرط أن يكون ثقة ) أي فلا يشترط انتشار الذكر ولا إزالة بكارة الغوراء .
6. حاشيتا قليوبي - وعميرة - (ج 3 / ص 278) ( دار الإحيا ء )
قوله : ( ولا تسلم ) أي يكره للولي في الصغيرة ولها في غيرها ولو ادعى الولي موت الصغيرة لم يقبل إلا ببينة .

Pertanyaan
b. Berapa batas umur untuk diperbolehkan menikah menurut pandangan fiqh? Dan apa hikmah yang ada di dalamnya?
Jawaban
b. Sejak lahir. Adapun hikmahnya belum ditemukan referensi sharih mengenai hal itu.

    R E F E R E N S I    
1. Syarh al Nawâwy ‘aa Muslim vol. 9, hlm. 207
2. Mughni al Muhtâj vol. , hlm.

7. شرح النووي على مسلم الجزءالتاسع صـ 207
باب جواز تزويج الأب البكر الصغيرة فيه حديث عائشة رضي الله تعالى عنها قالت "تزوجني رسول الله  لست سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين" وفي رواية "تزوجها وهي بنت سبع سنين" هذا صريح في جواز تزويج الأب الصغيرة بغير إذنها لأنه لا إذن لها والجد كالأب عندنا وقد سبق في الباب الماضي بسط الاختلاف في اشتراط الولي وأجمع المسلمون على جواز تزويجه بنته البكر الصغيرة لهذا الحديث وإذا بلغت فلا خيار لها في فسخه عند مالك والشافعي وسائر فقهاء الحجاز وقال أهل العراق لها الخيار إذا بلغت - إلى أن قال- واعلم أن الشافعي وأصحابه قالوا ويستحب ألا يزوج الأب والجد البكر حتى تبلغ ويستأذنها لئلا يوقعها في أسر الزوج وهي كارهة وهذا الذي قالوه لا يخالف حديث عائشة لأن مرادهم أنه لا يزوجها قبل البلوغ إذا لم تكن مصلحة ظاهرة يخاف فوتها بالتأخير كحديث عائشة فيستحب تحصيل ذلك الزوج لأن الأب مأمور بمصلحة ولده فلا يفوتها والله أعلم وأما وقت زفاف الصغيرة المزوجة والدخول بها فإن اتفق الزوج والولي على شيء لا ضرر فيه على الصغيرة عمل به وإن اختلفا فقال أحمد وأبو عبيد تجبر على ذلك بنت تسع سنين دون غيرها وقال مالك والشافعي وأبو حنيفة حد ذلك أن تطيق الجماع ويختلف ذلك باختلافهن ولا يضبط بسن وهذا هو الصحيح وليس في حديث عائشة تحديد ولا المنع من ذلك فيمن أطاقته قبل تسع ولا الإذن فيه لمن لم تطقه وقد بلغت تسعا قال الداودي وكانت قد شبت شبابا حسنا رضي الله عنها.

3. GRATIFIKASI VERSI KPK
Deskripsi
UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi telah mengatur para pejabat untuk melaporkan sumbangan yang diterima dalam waktu 30 hari guna menghindari gratifikasi (hadiah terkait jabatan). Bila mengacu ucapan ketua KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) Antasari Azhar, amplop seorang penyumbang untuk acara pejabat publik maksimal 1 juta, lebih dari itu harus dikembalikan pada penyumbang bila dia kerabat atau teman, dan dikembalikan ke Negara bila ia pejabat.
(Pon-Pes Mamba'ul Ulum Mantenan Blitar)
Pertanyaan
a. Bagaimana menurut syara' tentang UU di atas?
Jawaban
a. Dibenarkan, karena merupakan kebijakan untuk meminimalisir praktek suap.
Catatan : Menurut Malikiyah, bagi pemerintah diperbolehkan mengambil segala bentuk uang yang diterima seorang pejabat bila uang tersebut melebihi gaji yang telah ditetapkan.

    R E F E R E N S I    
1. Mawâhibul Jalîl vol. 6, hlm. 121
2. I’ânah al Thâlibîn vol. III hlm. 171 3. Ittihâf Sâdah al Muttaqîn vol VI, hlm. 161
4. Al ‘Ummâl wa al Hukkâm hlm. 54-55
5. Al ‘Ummâl wa al Hukkâm hlm. 64-65

1. مواهب الجليل شرح مختصر خليل الجزء السادس صـ 121 (مالكي)
الثالث ) قال في التوضيح, قال ابن حبيب: ويأخذ الإمام من قضاته وعماله ما وجده في أيديهم زائدا على ما ارتزقوه من بيت المال ويحصي ما عند القاضي حين ولايته ويأخذ ما اكتسبه زائدا على رزقه وقدر أن هذا المكتسب إنما اكتسبه بجاه القضاء وتأول أن مقاسمة عمر رضي الله عنه ومشاطرته لعماله كأبي موسى وأبي هريرة وغيرهما إنما فعل ذلك لما أشكل عليه مقدار ما اكتسبوه من القضاء والعمالة, انتهى. ونقله ابن عبد السلام وابن عرفة ونصه ابن حبيب: للإمام أخذ ما أفاده العمال ويضمه إلى ما جبوه, قال: وكل ما أفاده الوالي من مال سوى رزقه في عمله أو قاض في قضائه أو متول أمر المسلمين فللإمام أخذه للمسلمين, وكان عمر إذا ولى أحدا أحصى ماله لينظر ما يزيد ولذا شاطر العمال أموالهم حيث كثرت وعجز عن تمييز ما زادوه بعد الولاية, قاله مالك وشاطر أبا هريرة وأبا موسى وغيرهما, انتهى. ونقله في الذخيرة, ثم قال إثره: تمهيد الزائد قد يكون من التجارة والزراعة لا من الهدية ولا تظن الهدايا بأبي هريرة وغيره من الصحابة إلا ما لا يقتضي أخذا ومع ذلك فالتشطير حسن ; لأن التجارة لا بد أن ينميها جاه العمل فيصير جاه المسلمين كالعامل والقاضي وغيره رب المال فأعطى العامل النصف عدلا بين الفريقين ولذلك لما انتفع عبد الله وعبيد الله بالمال الذي أخذاه من الكوفة سلفا في القصة المشهورة, قال عبد الرحمن بن عوف لعمر رضي الله عنهما عنهما اجعله قراضا يا أمير المؤمنين فجعله قراضا ولولا هذه القاعدة كيف يصير القرض قراضا, انتهى. فتأمل ذلك وتقدم الكلام على قصتهما في أول باب القراض فراجعه, والله أعلم
2. إعانة الطالبين جـ 3 صـ 171
(والحاصل) أنه إن ملك لاجل الاحتياج أو لقصد الثواب مع صيغة، كان هبة وصدقة، وإن ملك بقصد الاكرام مع صيغة، كان هبة وهدية، وإن ملك لا لاجل الثواب ولا الاكرام بصيغة، كان هبة فقط. وإن ملك لاجل الاحتياج أو الثواب من غير صيغة، كان صدقة فقط، وإن ملك لاجل الاكرام من غير صيغة، كان هدية فقط، فبين الثلاثة عموم وخصوص من وجه (قوله: أو غنيا لاجل ثواب الآخرة) أي أو أعطاه غنيا لاجل ثواب الآخرة، وهو يفيد أنه إن أعطاه غنيا لا لاجل ثواب الآخرة، لم يكن صدقة وهو ظاهر
3. اتحاف سادة المتقين الجزء السادس صـ 161
وعبارة السبكي في فصل المقال وإن كان جاهه ولاية ولم يقصد حكما منه وإنما قصد استمالة قلبه عسى أن ينتفع به وفي مهماته وينال بمحبته خيرا فهذا محل التردد يحتمل أن يقال إنه هدية لكونه ليس له غرض خاص ويحتمل أن يقال هو رشوة لكون المهدى إليه في مظنة الحكم فاستدل الغزالي بحديث ابن اللتبية على التحريم ويكون هذا وإن كان القصد استمالة القلب من قصد خاص خرج من قسم الهدية ودخل في قسم الرشوة بالحديث والذي أقوله أن هذا قسم متوسط بين الهدية والرشوة صورة حكما وإن حكمه أن يجوز القبول ويوضع في بيت المال وحكم ما سواه من الهدايا يؤخذ ويتملكه المهدى له وحكم الرشوة أن لا يأخذ بل يرد إلى صاحبها وإنما صار حكم القسم المتوسط هكذا بالحديث وسراه أنه بالنسبة إلى صورته جاز الأخذ لأغراض المعطى عنه وعدم تعلق قصده بعوض خاص وبالنسبة إلى معناه وأن المعطى له نائب عن المسلمين حعلت للمسلين بأن كان وليا عاملا أو قاضيا
4. العمال والحكام لابن حجر الهيتمي صـ 54-55
(الثالث) هدية من له خصومة فيحرم إجماعا قبولها مطلقا ولو ممن له عادة بالإهداء له قبل القضاء أو من غير أهل ولايته للخبر السابق" هدايا العمال غلول" والقاضي أولى من العامل فإنه نائب الشرع ولأن زيد ابن ثابت كان يهدي لعمر رضي الله تعالى عنهما كل سنة لبنا ثم استقرض منه من بيت المال فأهدى زيد لعمر فلم يقبل وقال لعله إنما قدم لنا لما أقرضناه فلم يقبل منه حتى قضى دينه ولانكسار قلب خصمه ولتهمة الميل لما في الهدية من قوة الإمالة وقد قيل إنما سمي مالا لأنه يميل وقد روي أن رجلا أهدى لعمر جزورا ثم جاء يخاصم إليه فجعل يقول ياأمير المؤمنين أفصل بيننا كما بفصل رجل الجزول وعمر لا يفهم فذكر ذلك للناس وقال (مازال يكررها حتى كدت أقضي له)-إلى أن قال- (الرابع) هدية من هو من أهل ولايته وليس له عادة بالإهداء اليه قبل القضاء ولا خصومة فيحرم عند كثيرين قبولها وإن كان المهدي خليفته كما صرح به القاضي حسين أو كان من ذوى رحمه كما اقتضاه إطلاقهم نعم ينبغي أن يستثني من لا ينفذ حكمه له كأبيه وابنه، إذ لا تهمة حينئذ ثم رأيت الأذرعي وغيره استثنوا ذلك وسأذكره مبسوطا في سابع التنبيهات أو كان القاضي والمهدي خارج ولايته على الأصح بل قال السبكي على أنه متى ظهر أنه يهدي لأجل الولاية يحرم وإن كان في غير ولايته ممن ليس من أهل ولايته قال ويحكي عن أبي حنيفة وأصحابه أنه يكره أخذها ممن لم تجر له عادة وحكي محمد عن أبي حنيفة "لا ينبغي للقاضي أن يقبل هدية فإن ذلك يوقع التهمة ويطمع الناس فيه.
5. العمال والحكام صـ 64-65 (دار الراية)
والمعنى الذي أشار إليه الشافعي والأصحاب والمتقدمون والحنفيه من اعتبار المعنى الذي قصده المهدي وكأنها للمسلمين يرشد إليه هذا كله في الهدية أما الرشوة فالذي ينبغي أنه إن جهل صاحبها ردت لبيت المال قطعا وإن عرف ردت إليه قطعا لأنه لم يخرج عنها إلا لما قصد من الحكم الذي لم يحصل له ولا يملكها المهدى إليه بلا خلاف وإذا كره قبول الهدية ملكها المهدى إليه عند الأكثرين وقيل لا يملكها وهو المختار عندي اعتبارا بالمعنى الذي لحظه وهو أنه إنما أهدى إليه لقوة المسلمين ولقوته بخصوصه ويؤيده قصة معاذ السابقة مع أبي بكر وعمر -إلى أن قال- فالذي يظهر أن الهدايا متى لم يقصد بها معنى الرشوة ولا كانت في وقت خصومة ولا تضمنت إزراء بمنصب القضاء ولا تهمة أو ميلا بل كانت مكارمة بين الأكفاء أنه لا يمتنع قبولها ولكنه ينظر مع ذلك إلى المعنى الباعث لصاحبها على الإهداء فإن كان هو الولاية فلا يمكلها المهدى إليه فقد تكون للمسلمين لأنه إنما أخذها بقوتهم فكأنه قائم مقامهم وإن كان الباعث عليها قصده بخصومة كما إذا لم يكن ولاية فهي ملكه هذا هو الذي يظهر ولما كان القاضي مظنة التهمة كرهنا له قبول الهدية مطلقا فإن زالت الريبة جاز وأخذ معاذ ممن أعطاه يدل لحل القبول والشيخان لم ينكر عليه ولا قالا له إنه حرام وإنما اقتضى كلامهما أنه لبيت المال ثم اختلفا فعمر رأى أنه لا يطيب إلا بالإمام وأبو بكر لعله رأى أن ذلك تعبدا لقوله  له (لعل الله يجبرك) إهـ

J A L S A H T S A L I T S A H
M U S H O H H I H P E R U M U S M O D E R A T O R
1. KH. Ardani
2. KH. Hadiqunnuha
3. K. Ali Mushthafa
4. K. Munir Akromin
5. Bpk. Thohari Muslim
6. Agus Ibrahim A. Hafidz
7. KH. M. Irfan 1. Bpk. Hisbullah Al-Haqq
2. Bpk. Achmad Adibuddin
3. Bpk. M. Syahrul Munir
4. Bpk. M. Anas
5. Bpk. A. Thalhah
6. Bpk. H. Jazuli M. Ma’mun
7. HM. Abdurrahman Al-Kautsar
M. Aiman Al-Akiti

N O T U L E N
Ali Hidlir

M E M U T U S K A N

Pertanyaan
b. Apakah boleh penyumbang menerima kembali pemberian sumbangan tersebut?
Jawaban
b. Tidak diperbolehkan kecuali sumbangan itu merupakan risywah atau hadiah yang berbau risywah menurut qoul dhohirul madzhab

    R E F E R E N S I    
1. Al Bayân vol 13, hlm. 25-27 2. Ittihâf Sâdah al Muttaqîn vol VI, hlm. 160-161

1. البيان الجزء الثالث عشر صـ 25-27
فرع: وإن أهدى إلى القاضي أو إلى العامل في الصدقة هدية نظرت فإن كان المهدي ممن لم تجر له العادة بالهدية إليه قبل الولاية حرم عليه قبول الهدية منه لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال من وليناه ورزقناه فما يأخذه بعد ذلك فهو غلول -إلى أن قال- ولأن من لم تجر العادة له بالهدية إلى القاضي قبل الولاية إذا أهدى إليه شيئا فالظاهر أنه أهدى له ذلك بخصومة حاضرة فلم يجز له قبولها وأما إذا أهدى إليه من كانت له عادة بالهدية إليه قبل الولاية بقرابة أو بصداقة فإن كانت له حكومة لم يجز قبولها -إلى أن قال- وإن لم يكن له حكومة فهل يجوز له قبولها؟ حكى ابن الصباغ والطبري فيه وجهين أحدهما لا يجوز قبولها لقوله  هدايا العمال غلول وروي سحت ولو يفرق الثاني وهو المنصوص ولم يذكر الشيخ أبو حامد غيره أن الأولى له أن لا يقبل لجواز أن يكون قد أهدى إليه لحكومة منتظرة فإن قبلها جاز لأن العادة قد جرت بإهدائه إليه لا لأجل الحكومة فلم تلحقه التهمة وذكر الشيخ أبو إسحاق إذا لم يكن له حكومة فإن كان أكثر مما كان يهدي إليه أو رفع منه لم يجز له قبوله وإن كان مثل ما كان يهدي إليه جاز له قبولها هذا ترتيب أصحابنا العراقيين -إلى أن قال- وكل موضع قلنا لا يجوز له قبول الهدية فقبلها فإنه لا يملكها لأنا قد حكمنا بتحريمها عليه. وإلى من يردها؟ فيه وجهان أحدهما يردها إلى المهدي لأن ملكه لم يزل عنها والثاني يردها إلى بيت المال وهو ظاهر المذهب لأنه أهدى إليه لمكان ولايته وهو منتصب لمصلحة المسلمين وكأن المهدي اهدى إلى المسلمين فصرف ذلك في مصالحهم. وكذلك الوجهان في العامل إذا قبل الهدية أحدهما يردها إلى المهدي والثاني يجعلها في الصدقات هذا ترتيب أصحابنا العراقيين وقال الخراسانيون هل يملكها المهدَى إليه؟ فيه وجهان.
2. اتحاف سادة المتقين الجزء السادس صـ 160 -161
قال التقي السبكي الهدية لا يقصد بها إلا استمالة القلب والرشوة يقصد بها الحكم الخاص مال القلب أم لم يمل فإن قلت العاقل إنما يقصد استمالة قلب غيره لغرض صحيح أما مجرد استمالة القلب من غير غرض أجر فلا قلت صحيح لكن استمالة القلب له بواعث منها أن ترتب عليه مصلحة مخصوصة معينة كالحكم مثلا فههنا المقصود تلك المصلحة وصارت استمالة القلب وسيلة غير مقصود لأن القصد متى علم بعينه لا يقف على سببه فدخل هذا في قسم الرشوة ومنها أن ترتب عليه مصالح لا تنحصر إما أخروية كالأخوة في الله تعالى والمحبة وقيل ثوابها وما أشبه ذلك لعلم أو دين فهذه مستحبة والإهداء لها مستحب ومنها أن تكون دنيوية كالتوصل بذلك إلى أغراض له لا تنحصر بأن يكون المستمال قلبه صاحب جاه فإن كان جاهه بالعلم والدين فذلك جائز وهل هو جائز بلا كراهة أو بكراهة تنزيه اقتضى كلام الغزالي في الإحياء الثاني ومراده في القبول في الهدية وهو صحيح لأنه قد يكون أكل بعلمه أو دينه أما الباذل فلا يكره له ذلك وإن كان جاهه بأمر دنيوي فإن لم يكن ولاية بل كان له وجاهة بمال أو صلة عند الأكابر ويقدر على نفعه فهذا لا يكره الإهداء إليه لهذا الغرض وأما قبوله فهو أقل كراهة من الذي قبله بل لا تظهر فيه كراهة لأنه لم يأكل بعلمه ولا دينه وإنما هو أمر دنيوي ولم يخرج من حد الهدية فلا كراهة (فإن كان جاهه لولاية تولاها من قضاء أو عمل أو ولاية صدقة أو جباية مال أو غيره من الأعمال السلطانية حتى ولاية الأوقاف مثلا وكان لولا تلك الولاية لكان لا يهدي إليه فهذه رشوة عرضت في معرض الهدية إذ القصد بها في الحال طلب التقرب واكتساب المحبة ولكن لأمر ينحصر في جنسه إذ ما يمكن التوسل إليه بالولايات لا يخفي وآية أنه لا ينبغي المحبة أنه لو ولي في الحال غيره لسلم المال إلى ذلك الغير فهذا مما اتفقوا على أن الكراهة شديدة واختلفوا في كونه حراما والمعنى فيه متعارض فإنه دائر بين الهدية المحضة وبين الرشوة المبذولة في مقالبة جاء محض في غرض معين وإذا تعارضت المشابهة القياسية وعضدت الأخبار والآثار أحدهما تعيين الميل إليه) وعبارة السبكي في فصل المقال وإن كان جاهه ولاية ولم يقصد حكما منه وإنما قصد استمالة قلبه عسى أن ينتفع به وفي مهماته وينال بمحبته خيرا فهذا محل التردد يحتمل أن يقال إنه هدية لكونه ليس له غرض خاص ويحتمل أن يقال هو رشوة لكون المهدى إليه في مظنة الحكم فاستدل الغزالي بحديث ابن اللتبية على التحريم ويكون هذا وإن كان القصد استمالة القلب من قصد خاص خرج من قسم الهدية ودخل في قسم الرشوة بالحديث والذي أقوله أن هذا قسم متوسط بين الهدية والرشوة صورة حكما وإن حكمه أن يجوز القبول ويوضع في بيت المال وحكم ما سواه من الهدايا يؤخذ ويتملكه المهدى له وحكم الرشوة أن لا يأخذ بل يرد إلى صاحبها وإنما صار حكم القسم المتوسط هكذا بالحديث وسراه أنه بالنسبة إلى صورته جاز الأخذ لأغراض المعطى عنه وعدم تعلق قصده بعوض خاص وبالنسبة إلى معناه وأن المعطى له نائب عن المسلمين حعلت للمسلين بأن كان وليا عاملا أو قاضيا وإن كان عامل الصدقة جعلت في الصدقات الذي هو نائب عن أصحابها فإن قلت فإذا كان المهدى إليه غير حاكم قلت إن كان نائبه أو حاجبه أو من ندبه وولاه اتصال الأمور وما أشبه ذلك فهو مثله وعلى الجملة كل من تولى ولاية يتعين عليه ذلك الفعل فيها أو يجب وإن لم يتعين كما إذا كان اثنان في وظيفة يحرم على كل منهما أن يأخذ على شغل مما يجب أو يحرم فإن قلت فإن كان مما لا يجب ولا يحرم بل يجوز هل يجوز الأخذ عليه قلت هذا في حق المتولى عزيز فإنه يحب عليه رعاية المصالح فمتى ظهرت مصلحة في شيئ وحب ومتى ظهر خلافها حرم ومتى أشكل وجب النظر فأين يوجد في فعل القاضى ونحوه ممن يلي أمور المسلمين مما يتخير بين فعله وتركه على سبيل التشهى وإن فرض ذلك فيحرم الأخذ عليه أيضا لأنه نائب عن الله تعالى في ذلك الفعل فكما لا يأخذ على حله لا يأخذ على فعله وأعني بهذا ما يتصرف فيه القاضي غير الأحكام من التولية ونحوها فلا يجوز أن يأخذ من أحد شيأ على أن يوليه نيابة قضاء أو مباشرة وقف أو مال يتيم وكذلك لا يجوز له أن يأخذ شيئا على ما يتعاطاه من العقود والفروض والفسوخ وإن لم تكن هذه الأشياء أحكاما بمعنى أنها ليست تنفيذا لما قامت به الحجة بل انشاء تصرفات مبتدأة ولكن الأخذ عليها يمتنع كالحكم لأنه نائب فيها عن الله تعالى كما هو نائب في الحكم عنه.
Pertanyaan
c. Termasuk harta apakah uang sumbangan pejabat yang diambil oleh negara?
Jawaban
c. Termasuk harta milik baitul Mal bila sumbangan itu berupa rosywah atau yang berbau rosywah menurut dhohirul madzhab. Dan termasuk pungutan liar apabila murni sumbangan yang halal

    R E F E R E N S I    
1. Al ‘Ummâl wa al Hukkâm hlm. 164 2. Bughyah al Mustarsyidîn, hlm. 158

1. العمال والحكام صـ 164
قال السبكي إن جهل صاحبها وضعت لبيت المال وقيل هي ملك لمن أهديت له وإن علم صاحبها فالأصح عند النووي وغيره من المتأخرين ردها إليه وقيل توضع في بيت المال وهو المختار لحديث ابن اللتبية وقال صاحب البيان إنه ظاهر المذهب والمعنى الذي أشار إليه الشافعي والأصحاب المتقدمون والحنفية من اعتبار المعنى الذي قصده المهدي فكأنها للمسلمين يرشد إليه هذا كله في الهدية أما الرشوة فالذي ينبغي أنه إن جهل صاحبها ردت لبيت المال قطعا وإن عرف ردت إليه قطعا لأنه لم يخرج عنها الا ما قصد من الحكم الذي لم يحصل له ولا يملكها المهدى إليه بلا خلاف.
2. بغية المسترسدين صـ 158
(مسألة ك) عين السلطان على بعض الرعية شيئا كل سنة من نحو درهم يصرفها في المصالح إن أدوه عن طيب نفس لا خوفا ولا حياء من السلطان أو غيره جاز أخذه وإلا فهو من أكل أموال الناس بالباطل لا يحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه وإرادة صرفه في المصالح لا تصيره حلالا.

4. DILEMA QURBAN ATAS NAMA ORANG MATI
Deskripsi
Sering dijumpai dalam kalangan masyarakat berqorban atas nama orang yang telah meninggal dunia dengan cara diwakilkan kepada Kyai setempat. Setelah disembelih, daging qorban tersebut dibagikan kepada seluruh masyarakat tanpa mempertimbangkan status sosialnya (kaya or miskin), sebab apabila dipilah-pilah akan menimbulkan kecemburuan, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kerenggangan diantara warga. bahkan sang kyai sendiri tanpa sungkan-sungkan ikut menikmati daging tersebut, dengan dalih mudlohhi telah memberikan kuasa penuh kepadanya (pasrah bongkokan; jawa). Sementara dalam konsep Fiqh Syafi'iyyah, tidak diperkenankan bagi mudlohhi atas nama mayyit untuk mengkonsumsi daging tersebut, sebab ia harus mendapatkan izin telebih dahulu dari orang yang telah meninggal dunia, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
(Pon-Pes Al-Falah Ploso Mojo Kediri)
Pertanyaan
Dalam perspektif madzahib al-arba'ah, adakah pendapat yang memperbolehkan mudlohhi diatas atau wakilnya (sang kyai) untuk mengambil bagian qorban tersebut ?
Jawaban
Ada (menurut Imam As-Subki) dengan catatan:
1. mudlohhi adalah ahli waris;
2. Qurban sunat;
3. wakil mengambil sesuai dengan ketentuan muwakkil (ahli waris) / mengambil daging yang setara dengan kebutuhan sehari-semalam bila tidak ada izin muwakkil.

    R E F E R E N S I    
1. Fatâwa al Subky vol II, hlm. 57 2. Al Majmû’ Syarh al Muhadzdzab vol 14, hlm. 109-110

1. فتاوى السبكي الجزء الثاني صـ 57
(كتاب الضحايا) (مسألة) إذا أهدى المضحي من أضحية إلى غني شيئا هل يجوز للغني أن يهديه إلى غيره ؟ إن قلتم يجوز فما معنى قول الرافعي ليس له أن يملك الأغنياء ؟ (الجواب) قال الشيخ الإمام رحمه الله الأصل الذي ينبغي أن يعتمد في هذا الباب ولم أره منقولا ولكني قررته تفقها لما رأيت المسائل لا تستمر إلا عليه والقواعد والأدلة تشهد له أن أضحية التطوع يزول الملك عنها بالذبح لله تعالى ومصرفها وجهان: أحدهما: الفقراء تمليكا والثاني الأغنياء انتفاعا والمضحي أحدهم وله الولاية على ذلك وقسمته وتفرقته فإن المضحي يتقرب بأضحيته بالذبح وبذلك تنتقل عنه إلى الله تعالى وهذا معنى القربة فيها وإن جاز له الأكل منها ؛لأنه مأذون في ذلك من الله تعالى ،وإذا علم ذلك فإذا أعطى منها للفقراء كان تمليكا وليس المعنى يملكهم بل يعطيهم كما يعطيهم للزكاة فيملكونها ملكا تاما يتصرفون فيه بالبيع وغيره وذلك لأنهم المقصود الأعظم بها ولا يحصل لهم التصرف التام إلا بالتمليك التام في ذلك لينتفعوا بها وبثمنها فمعنى قوله: يملك الفقراء أنه يعطي لهم ويسلطهم تسليطا تاما عليها وإذا أكل هو منها يأكلها وليست على ملكه بل الإذن من الله تعالى وإذا أهدى منها إلى غني فقد أحل ذلك الغني محله ورفع يده عما أهداه له فللغني أن يأكل منه ويهدي أيضا وليس ذلك من باب الهدية التي هي التمليك لما قدمناه أنها ليست ملكه وإنما معناه رفع يده وتسليط غيره عليها وليس له أن يبيع لكونه غير ملك وإنما لم يملك لكونه ليس هو المقصود الأعظم منها لما قدمنا أن المقصود الأعظم منها الفقراء فمقصود الأضحية تمليك الفقراء والإباحة للمضحي والأغنياء هذه حقيقتها. وقد نشأ لنا من هذا فرعان لم أر فيهما نقلا إلى الآن: أحدهما: لو مات المضحي وعنده شيء من لحم الأضحية الذي يجوز له أكله وأهداه فمقتضى ما قررناه أنه لا يورث عنه ولكن ينبغي أن يكون لوارثه ولاية القسمة والتفرقة كما كان له ويحتمل أن يقال: ليس للوارث ذلك بمعنى أنه لا يختص به بل هو في ذلك كسائر الناس لأنه إنما تورث الحقوق التابعة للأموال كالخيار والشفعة والتي يحصل بها سعي أو دفع عار كالقصاص وحد القذف وهذا الحق نيابة عن الله تعالى في القسمة والتفرقة فلا تعلق له بالميراث لكن الذي يظهر وتميل النفس إليه أنه يكون للوارث. (الفرع الثاني) وقد فكرت فيه الآن لقصد الأضحية عن والدي رحمهما الله وبرد مضجعهما أنه إذا قلنا بجواز التضحية عن الميت فيضحي الوارث عن مورثه فهل له أن يأكل من لحمها كما لو كان هو المضحي أو لا ؟ والذي يظهر أن هذا ينبني على الفرع الذي قبله إن قلنا هذا الحق يورث فيكون للوارث ما للمورث من الأكل والتفرقة على الأغنياء والفقراء فإن نسبته إلى الأكل كنسبة سائر الناس وولاية التفرقة مقرونة لما قدمناه فيستمر ذلك سواء أكان المضحي عن الميت أم كان الميت ومن ضحى ثم مات قبل التفرقة والله أعلم
2. المجموع شرح المهذب الجزء الرابعة عشر صـ 109 -110
(فصل) ولا يملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه اذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لان تصرفه بالاذن فلا يملك الا ما يقتضيه الاذن والاذن يعرف بالنطق وبالعرف فان تناول الاذن تصرفين. وفى أحدهما اضرار بالموكل لم يجز ما فيه ضرار لقوله صلى الله عليه وسلم " لا ضرر ولا ضرار " فان تناول تصرفين وفى أحدهما نظر للموكل لزمه ما فيه النظر للموكل لما روى ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رأس الدين النصيحة: قلنا يا رسول الله لمن قال لله ولرسوله ولكتابه ولائمة المسلمين وللمسلمين عامة وليس من النصح أن يترك ما فيه الحظ والنظر للموكل.

5. TALAK DI DEPAN PENGADILAN AGAMA
Deskripsi
Dalam hukum pernikahan Indonesia yang diatur di dalam UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 angka 1, 2, dan 3 jo KHI Pasal 113, 115, dan 123 jo UU no. 7 Tahun 1989 Pasal 65 dan 66 ayat (1); bahwa talak haruslah dilakukan di pengadilan dan disertai alasan atau alasan-alasan hukum [Untuk kejelasan pasal-pasal tersebut lihat: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 216-238]. Ini memberi gambaran: Kalau seorang suami melafadzkan talak di luar pengadilan, seperti di rumah misalnya, maka talak tersebut tidak dianggap oleh pengadilan secara hukum positif (atau ilegal), karena tidak sesuai prosedur. Tentunya penafian pengadilan di sini tidak hanya sekadar secara formil bagi status pasangan tersebut, akan tetapi akan berdampak pada status hukum selanjutnya. Seperti misalnya urusan warisan kalau terjadi perceraian setelah Iddah habis, status zina serta nasab anak darinya. Padahal, asumsi fiqh klasik menyatakan bahwa talak tetap akan jatuh apabila diucapkan si suami yang dengan sengaja disertai alasan atau tidak, dan di mana pun itu.
Pertanyaan
Secara lintas madzhab, apakah konsep talak seperti di atas dapat dibenarkan secara syar’i?
(LBM STAIN Kediri)
Jawaban
Karena melihat bahwa ada talak di dalam syariat yang bisa jatuh walaupun tidak di depan sidang pengadilan, maka secara syar’i, pasal-pasal yang mensyaratkan talak hanya dapat jatuh di depan sidang pengadilan yang berlaku secara mutlak (bagi semua jenis perceraian) adalah tidak dapat dibenarkan.
Catatan:
Contoh talak yang dapat jatuh walaupun tidak di depan sidang pengadilan menurut syariat Islam adalah seorang suami yang melafalkan talak secara sharih atau kinayah yang disertai niat baik pelafalan tersebut disertai dengan alasan atau pun tanpa alasan hukum sekalipun.

    R E F E R E N S I    
1. Al Mausû’ah Al Fiqhiyah vol 29, hlm. 11-12 2. Al Fiqh al Islâmi vol IX, hlm. 6877

1. الموسوعة الفقهية الجزء التاسع والعشرون صـ 11-12
من له حق الطلاق الطلاق نوع من أنواع الفرق وهو ملك للزوج وحده ذلك أن الرجل يملك مفارقة زوجته إذا وجد ما يدعوه إلى ذلك بعبارته وإرادته المنفردة كما تملك الزوجة طلب إنهاء علاقتها الزوجية إذا وجد ما يبرر ذلك كإعسار الزوج بالنفقة وغيبة الزوج وما إلى ذلك من أسباب اختلف الفقهاء فيها توسعة وتضييقا ولكن ذلك لا يكون بعبارتها وإنما بقضاء القاضي إلا أن يفوضها الزوج بالطلاق فإنها في هذه الحال تملكه بقولها أيضا. فإذا اتفق الزوجان على الفراق جاز ذلك وهو يتم من غير حاجة إلى قضاء وكذلك القاضي فإن له التفريق بين الزوجين إذا قام من الأسباب ما يدعوه لذلك حماية لحق الله تعالى كما في ردة أحد الزوجين المسلمين- والعياذ بالله تعالى- أو إسلام أحد الزوجين المجوسيين وامتناع الآخر عن الإسلام وغير ذلك إلا أن ذلك كله لا يسمى طلاقا سوى الأول الذي يكون بإرادة الزوج الخاصة وعبارته. والدليل على أن الطلاق هذا حق الزوج خاصة قول النبي صلى الله عليه وسلم: (إنما الطلاق لمن أخذ بالساق) ثم إن الرجل المطلق لا يسأل عن سبب الطلاق عند إقدامه عليه وذلك لأسباب كثيرة منها: 1- حفظ أسرار الأسرة. 2- حفظ كرامة الزوجة وسمعتها 3- العجز عن إثبات الكثير من تلك الأسباب لأن غالب أسباب الشقاق بين الزوجين تكون خفية يصعب إثباتها فإذا كلفناه بذلك نكون قد كلفناه بما يعجز عنه أو يحرجه وهو ممنوع في الشريعة الإسلامية لقوله تعالى (وما جعل عليكم في الدين من حرج ). 4- ثم إن في إقدام الزوج على الطلاق وتحمله الأعباء المالية المترتبة عليه من مهر مؤجل ونفقة ومتعة- عند من يقول بوجوبها- وأجرة حضانة للأولاد لقرينة كافية على قيام أسباب مشروعة تدعوه للطلاق. 5- ولكون الطلاق مباحا أصلا عند الجمهور كما تقدم إباحة مطلقة عن أي شرط أو قيد.
2. الفقه الإسلامي الجزء التاسع صـ 6877
السبب في جعل الطلاق بيد الرجل جعل الطلاق بيد الزوج لا بيد الزوجة بالرغم من أنها شريكة في العقد حفاظاً على الزواج وتقديراً لمخاطر إنهائه بنحو سريع غير متئد لأن الرجل الذي دفع المهر وأنفق على الزوجة والبيت يكون عادة أكثر تقديراً لعواقب الأمور وأبعد عن الطيش في تصرف يلحق به ضرراً كبيراً فهو أولى من المرأة بإعطائه حق التطليق لأمرين الأول- إن المرأة غالباً أشد تأثراً بالعاطفة من الرجل فإذا ملكت التطليق فربما أوقعت الطلاق لأسباب بسيطة لا تستحق هدم الحياة الزوجية الثاني- يستتبع الطلاق أموراً مالية من دفع مؤجل المهر ونفقة العدة والمتعة، وهذه التكاليف المالية من شأنها حمل الرجل على التروي في إيقاع الطلاق، فيكون من الخير والمصلحة جعله في يد من هو أحرص على الزوجية وأما المرأة فلا تتضرر مالياً بالطلاق، فلا تتروى في إيقاعه بسبب سرعة تأثرها وانفعالها ثم إن المرأة قبلت الزواج على أن الطلاق بيد الرجل، وتستطيع أن تشرطه لنفسها إن رضي الرجل منذ بداية العقد ولها أيضاً إن تضررت بالزوج أن تنهي الزواج بواسطة بذل شيء من مالها عن طريق الخلع أو عن طريق فسخ القاضي الزواج بسبب مرض منفر أو لسوء العشرة والإضرار، أو لغيبة الزوج أو حبسه أو لعد م الإنفاق وليست الدعوة المعاصرة إلى جعل الطلاق بيد القاضي ذات فائدة لمصادمة المقرر شرعاً ولأن الرجل يعتقد ديانة أن الحق له، فإذا أوقع الطلاق حدثت الحرمة دون انتظار حكم القاضي وليس ذلك في مصلحة المرأة نفسها لأن الطلاق قد يكون لأسباب سرية ليس من الخير إعلانها، فإذا أصبح الطلاق بيد القاضي انكشفت أسرار الحياة الزوجية بنشر الحكم، وتسجيل أسبابه في سجلات القضاء وقد يعسر إثبات الأسباب لنفور طبيعي وتباين أخلاقي.
Read More......