Halaman

Kamis, 20 Januari 2011

Pendayung Sampan Dan Professor

Suatu hari seorang profesor menyewa sebuah sampan untuk membuat kajian di tengah lautan.Pendayung itu merupakan lelaki tua yang sangat pendiam. Profesor sengaja mengupah lelaki tua itu kerana dia tidak mahu orang yang menemaninya banyak menyoal tentang apa yang dia lakukan.

Dengan tekun Profesor itu melakukan tugasnya tanpa menghiraukan pendayung sampan. Dia mengambil air laut dan diisi kedalam tabung uji, digoncang-goncang, kemudian mencatat sesuatu di dalam buku catatan dibawanya. Berjam-jam lamanya Profesor itu melakukan kajian dengan tekun sekali.
Pendayung sampan mendongak ke langit, memandang pada awan yang mula berarak kelabu. Dalam hati dia berkata “Hmm..tak lama hujan lebat akan turun..”

“OK semua sudah siap mari kita balik.” Lantas pendayung itu memusingkan sampannya dan mula mendayung ke arah pantai. Dalam perjalanan itu baru Profesor itu membuka mulut menegur pendayung sampan.

“Dah lama kamu mendayung sampan?” Tanya Profesor kepada pendayung sampan. “Hmm..hampir seumur hidupku,” jawab si pendayung ringkas.

“Seumur hidup kamu? Jadi kamu tidak tahu apa-apa selain mendayung sampan?” tanya Profesor itu lagi.

“Ya..”jawab pendayung sampan dengan ringkas.

Profesor belum berpuas hati dengan jawapan pendayung tua itu. “Kamu tahu Geografi?” Si pendayung menggeleng..

“Kalau begitu kamu hilang 25% dari usia hidup kamu.”
“Kamu tahu Biologi?”tanya Profesor itu lagi. Pendayung sampan itu menggeleng lagi.

“Kasihan kamu telah kehilangan 50% dari usia kamu.”

“Kamu tahu Fizik?” Profesor itu masih bertanya. Seperti tadi pendayung sampan itu hanya menggeleng.

“Sungguh kasihan kalau begitu kamu telah kehilangan 75% usia kamu.Malang sungguh nasib kamu semuanya tidak tahu. Seluruh hidup kamu hanya dihabiskan dengan sampan,tak ada gunanya lagi,” Profesor itu mengejek dan berkata dengan angkuh setelah merasakan dirinya yang terhebat. Pendayung sampan hanya mendiamkan diri.

Selang beberapa minit kemudian hujan turun dengan lebat, tiba-tiba ombak besar datang melanda. Sampan yang mereka naiki terbalik. Profesor dan pendayung sampan terpelanting. Sempat pula pendayung itu bertanya, “Kamu tahu berenang?” Profesor hanya menggeleng.

“Sayang sekali kamu telah kehilangan 100% nyawa kamu.” Kata pendayung itu sambil berenang ke pantai meninggalkan Profesor yang angkuh tadi.
http://umybilqis.wordpress.com/2008/11/05/kisah-penuh-hikmah-pendayung-sampan-dan-profesor/
Read More......

Biografi Imam Ibnu Majah

Ibnu Majah Imam atau yang lebih dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’I bin Majah Al-Qazwini Al-Hafidz. Nama ibnu (anak) Majah dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Selain itu sebagin ulama berpendapat, Majah adalah ayah dari Yazid. Namun
pendapat, nama Ibnu Majah yang dinisbahkan kepada ayahnya lebih mashur di kalangan muhadditsin.



Sejak remaja, Ibnu Majah dikenal sebagai sosok yang tekun dan cinta ilmu. Pada usia 15 tahun, Ibnu Majah belajar hadits pada seorang guru besar kala itu, Ali bin Muhammad At-Tanafasy (233 H). Bakat dan kegigihan yang dimiliki Ibnu Majah membawanya berkelana ke penjuru negeri untuk menekuni bidang hadits. Sepanjang hayatnya, seluruh pikiran dan usahanya untuk menulis baik di bidang fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.

Tidak hanya itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menyusun At-Târîkh. Buku ini secara terperinci mengulas biografi para muhaddits yang hidup sebelumnya hingga biografi ualama hadits yang semasa dengannya. Di bidang tafsir, Ibnu Majah juga menulis Al-Qur'ân Al-Karîm. Namun sayang, buku At-Tarikh dan buku Al-Qur'an Al-Karim tidak sampai ke generasi berikutnya hingga sekarang.

Seperti ama halnya dengan para imam muhadits sebelumnya, Ibnu Majah juga melakukan perjalanan ilmiahnya untuk mencari hadits. Ibnu Majah pernah melakukan rihlah ke kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Teheran maupun ke Konstatinopel.

Pada rihlah ilmiahnya ini, Ibnu Majah bertemu banyak pakar hadits. Dari para pakar inilah Ibnu Majah mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang dalam, terutama seputar hadits. Para guru inilah yang sangat berperan bagi keintelektualan Sang Imam. Selama perjalanan ilmiahnya, tercatat banyak para guru tempatnya menimba ilmu.

Khusus dalam bidang hadits, para pakar yang sempat ditemui Sang Imam diantaranya, Abdullah dan Usman, kedua anak dari Syeikh Syaibah. Namun Imam Ibnu Majah lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Selain dari Abdullah, Imbu Majah juga banyak meriwayatkan hadits dari Abu Khaitsamah Zahir bin Harb, Duhim, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.

Berkat para guru dan kecenderungannya di bidang hadits, Ibnu Majah juga melahirkan para murid yang mewariskan ilmu kesereusannya memelihara Hadits Nabawi. Tidak heran, murid-murid Ibnu Majah termasuk orang-orang yang pakar di bidang ini. Sederet nama besar seperti Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân tercatar sebagai muridnya. Selain itu, pakar lain yang lahir dari Imam Ibnu Majah adalah Sulaiman bin Yazid, Abu Ja'far Muhammad bin Isa Al-Mathû'î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Dalam periwayan hadits, keempat muridnya ini adalah para perawi hadits yang yang dihimpun Ibnu Majah.

Atas kegigihan dan warisan yang ditinggalkannya ini, tidak sedikit para ualama memberi komentar dan sanjugan pisitif kepada Sang Imam. Menurut Abu Ya'la Al-Kahlily Al-Qazwiny, bahwa Imam Ibnu Majah adalah seorang yang sangat terpercaya, disepakati kejujurannya, pendapatnya dapat dijadikan argumentasi yang kuat, disamping itu juga mempunyai pengetahuan yang luas dan banyak menghapal hadits.
Seperti Abu Ya'la, sanjungan senada juga dilontarkan Abu Zar'ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya Tazkiratu Al-Huffâdz. Keduanya menyebut Imam Ibnu Majah sebagai ahli besar di bidang hadit, sosok pengembara ilmu, pengarang kitab sunan dan tafsir, dan ahli hadits kenamaan negerinya.

Atas kecerdasan dan kebesaran Imam Ibnu Majah ini, “memaksa” salah seorang ualam sebesar Ibnu Kasir turut memberi komentar yang sangat positf. Dalam buku karyanya Al-Bidayah, Ibnu Katsir mengatakan : "Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits, ushul serta furû'.

Tentunya, apa yang disanjungkan kepada Imam Ibnu Majah, sebenarnya tidak terlepas dari metode yang diterapkan dalam menulis hadits, terutama dalam kitab haditsnya, Sunan Ibnu Majah. Dalam penulisan kitab Sunannya, Ibnu Majah biasa memulai dengan mengumpulkan hadits dan menyusunnya berdasarkan bab yang berkaitan dengan masalah seputar fiqih.

Setelah menyusun dalam bentuk bab, Ibnu Majah tidak terlalu fokus pada kritik al-Hadits yang diangakatnya, namuan Ibnu majah lebih fokus mengkritisi hadits-hadits yang menurutnya lebih penting dan perlu penjelasan. Termasuk juga, Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits. Disamping itu, ia juga sedikit melakukan pengulangan hadits sebagaimana yang dilakukan Imam Muslim.

Selain itu, ada sisi kunikan lain dari buku hadits Imam Ibnu Majah. Kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan Ibnu Majah. Namun ada beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany, salah seorang dari Sunan Ibnu Majah ini. Hal semacan ini dalam ilmu musthalahul hadits dikenal dengan kategori hadits Uluwwu Al-Isnad. Sehingga riwayat Al-Qatthany yang sebatas murid derajatnya sama dengan Ibnu Majah sebagai guru.

Menurut Az-Zahabi, Sunan Ibnu Majah terdiri dari 32 kitab, 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 hadits menurut Az-Zahabî. Namun, setelah diteliti ualng dan di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, buku ini berjumlah 37 kitab, 515 bab dan terdiri dari 4341 hadits.
Semoga Allah senantiasa merahmati Ibnu Majah yang wafat Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H yang dimakamkan di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq setelah selesai menyumbangkan segenap usaha dan kesungguhan untuk umat Islam.
http://mbahman-gadingmangu.blogspot.com/2010/05/biografi-imam-ibnu-majah.html
Read More......

Rabu, 12 Januari 2011

Hukum Donor Mata

Assalamu'alaikum wr. wb.

Begini pak Ustadz.

Saya punya masalah pada anak saya yang bernama annisa berumur 2.5 th. Semenjak lahir anak saya punya kelainan pada penglihatannya. Setelah konsultasi dengan dokter, ia divonis tidak bisa melihat. Untuk mengatasinya harus dengan donor mata dan dilakukan secepatnya sebelum melebihi umur 10 tahun karena dapat menghambat perkembangannya.

Yang ingin saya tanyakan :

1. Bagaimana hukumnya dalam Islam tentang donor mata.
2. Bagaimana jika antara donor dan pendonor beda agama apakah diperbolehkan dan apakah ada dalil yang memperbolehkannya.
3. Apakah pendonor boleh dari negara lain.

Demikian pertanyaaan dari saya dan terima kasih.

wassalam.

Dion

Jawaban


Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Allah Swt. menurunkan ajaran dien Al-Islam ke dunia untuk menjadi rahmat bagi semua makhlukNya. Dengan mengkaji sumber-sumber khazanah Islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi), maka kita akan menemukan ajaran hidup yang sarat pesan untuk dapat hidup bahagia, sejahtera, sehat lahir dan batin sebagai kontribusi Islam kepada kehidupan manusia dan manivestasi kerahmatan nya yang universal. Islam disamping memperhatikan kesehatan rohani sebagai jembatan menuju ketenteraman hidup duniawi dan keselamatan ukhrawi, ia juga sangat menekankan pentingnya kesehatan jasmani sebagai nikmat Allah yang sangat mahal untuk dapat hidup aktual secara optimal. Sebab kesehatan jasmani disamping menjadi faktor pendukung dalam terwujudnya kesehatan rohani, juga sebagai modal kebahagiaan lahiriah. Keduanya saling terkait dan melengkapi tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi mata uang.

Oleh karena itu Islam sangat memuliakan ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai perawat kehidupan dan misi kemanusiaan dengan izin Allah swt. Bahkan ia memerintahkan kita semua sebagai fardhu 'ain (kewajiban individual) untuk mempelajarinya secara global dan mengenali sisi biologis diri kita sebagai media peningkatan iman untuk semakin mengenal Allah Al-Khaliq disamping sebagai kebutuhan setiap individu dalam menyelamatkan dan menjaga hidupnya.

Firman Allah swt. yang artinya : " Dan di bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.?" QS. Ad-Dzariyat ( 51) : 20, 21.) Sabda Nabi saw.: " Berobatlah wahai hamba Allah! karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan Ia telah menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Islam juga menetapkan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dan menggalakkan adanya ahli-ahli di bidang kedokteran dan memandang kedokteran sebagai ilmu yang sangat mulia. Imam Syafi'i berkata: "Aku tidak tahu suatu ilmu setelah masalah halal dan haram (Fiqih/syariah) yang lebih mulia dari ilmu kedokteran." (Al-Baghdadi, Atthib minal kitab was sunnah hal :187).

Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli bedah Itali, pada tahun 1597M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.

Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil mentransplantasikan jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun 1897 yang berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan, barulah terbuka pintu percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke manusia lain. Percobaan yang telah dilakukan terhadap binatang akhirnya berhasil, meskipun ia menghabiskan waktu cukup lama yaitu satu setengah abad. Pada tahun 1954 M Dr. J.E. Murray berhasil mentransplantasikan ginjal kepada seorang anak yang berasal dari saudara kembarnya yang membawa perkembangan pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi.

Tatkala Islam muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua negara adi daya Romawi dan Persi. Namun pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya. Selama ribuan tahun setelah melewati bantak eksperimen barulah berhasil pada akhir abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Nabi saw. negara Islam telah memperhatikan masalah kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berupaya menjamin kesehatan dan pengobatan bagi seluruh rakyatnya secara cuma-cuma. Ada beberapa dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa'ah, juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.

Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) "bahwa kakeknya 'Arfajah bin As'ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai membau (membusuk), maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas". Imam Ibnu Sa'ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa 'Utsman (bin 'Affan) pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).

Pada periode Islam selanjutnya berkat doktrin Islam tentang urgensi kedokteran mulai bertebaran karya-karya monumental kedokteran yang banyak memuat berbagai praktek kedokteran termasuk transplantasi dan sekaligus mencuatkan banyak nama besar dari ilmuwan muslim dalam bidang kesehatan dan ilmu kedokteran, diantaranya adalah; Al-Rozy (Th.251-311 H.) yang telah menemukan dan membedakan pembuluh vena dan arteri disamping banyak membahas masalah kedokteran yang lain seperti, bedah tulang dan gips dalam bukunya Al-Athibba. Lebih jauh dari itu, mereka bahkan telah merintis proses spesialisasi berbagai kajian dari suatu bidang dan disiplin. Az-Zahrawi ahli kedokteran muslim yang meninggal di Andalusia sesudah tahun 400-an Hijriyah telah berhasil dan menjadi orang pertama yang memisahkan ilmu bedah dan menjadikannya subjek tersendiri dari bidang Ilmu Kedokteran. Beliau telah menulis sebuah buku besar yang monumental dalam bidang kedokteran khususnya ilmu bedah dan diberi judul "At-tashrif".

Buku ini telah menjadi referensi utama di Eropa dalam bidang kedokteran selama kurang-lebih lima abad dan sempat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk bahasa latin pada tahun 1497 M. Dan pada tahun 1778 M. dicetak dan diterbitkan di London dalam versi arab dan latin sekaligus. Dan masih banyak lagi nama-nama populer lainnya seperti Ibnu Sina (Lihat, Dr.Mahmud Alhajj Qasim, Atthibb 'indal 'arab wal muslimin hal: 105, Al-Ward, Mu'jam 'Ulama al-A'rab I / 144).

Transplantasi menurut Dr. Robert Woworuntu dalam bukunya Kamus Kedokteran dan Kesehatan (1993:327) berarti : Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari transplantation [trans-+ L.plantare menanam] berarti : penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun transplant berarti : 1. mentransfer jaringan dari satu bagian ke bagian lain. 2. organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain. Jadi, menurut terminologi kedokteran "transplantasi" berarti; "suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain". Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang dipindah disebut graft atau transplant; pemberi transplant disebut donor; penerima transplant disebut kost atau resipien.

Dalam prakteknya, berhasil tidaknya jaringan atau organ yang ditransplantasikan dari donor ke resipien tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya reaksi immunitas pada resipien. Penolakan jaringan atau organ oleh resipien disebabkan adanya antigen yang dimiliki oleh sel donor tetapi tidak dimiliki oleh sel resipien. Meskipun demikian, faktor tersebut tidak merupakan suatu hambatan besar dalam dunia kedokteran. Para ahli medis di lapangan masih mampu mengatasinya dengan berbagai macam cara yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya reaksi penolakan, seperti dengan merusak sel-sel limfosit yang dimiliki oleh resipien atau membuang organ yang memproduksi sel limfosit yaitu limpa dan thymus.

Transplantasi termasuk inovasi alternatif dalam dunia bedah kedokteran modern. Dalam beberapa dekade terakhir tampaknya transplantasi semakin marak dan menjadi sebuah tantangan medis, baik dari upaya pengembangan aplikasi terapan dan teknologi prakteknya, maupun ramainya polemik yang menyangkut kode etik dan hukum nya khususnya hukum syariah Islam.

Seperti beberapa topik yang diangkat dalam seminar berjudul "Organ Transplantation and Health Care Management From Islamic Perspective" yang diselenggarakan oleh FOKKI (Forum Kajian Kedokteran Islam Indonesia), FIMA (Federation of Islamic Medical Association) dan MUI di Universitas Yarsi pada tanggal 29-30 Juli 1996 diantaranya mengangkat persoalan tentang tata cara penetapan kepastian mati, boleh tidaknya donor mengambil imbalan, binatang sebagai alat donor, donor dari orang kafir untuk muslim/sebaliknya.

Banyak orang yang bertanya-tanya tentang hukum dan ketentuan syariah Islam mengenai transplantasi yang menyangkut berbagai kasus prakteknya serta persoalan konsepsional mendasarnya khususnya di kalangan medis, seperti kata Dr. Tarmizi yang menyoroti fenomena bahwa saat ini yang paling sesuai untuk transplantasi organ jantung manusia adalah babi (Media Dakwah, No.265 Rab. Awal 1417 H/Agustus 1996). Karena masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum, moral, etika kemanusiaan dan berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah kontroversi pendapat pro-kontra mengenai kasus ini.

Pada hakekatnya, syari'ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya suatu masalah, tidak terpasung pada batas 'hukum sekedar untuk hukum'. Lebih jauh dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah. Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi internal terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horisontalnya adalah ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat masunisa secara universal. Meskipun demikian, ketika para pakar hukum, pakar syariah Islam dan tokoh atau pemuka agama mengatakan bahwa praktek transplantasi pada kenyataanya adalah perlu dan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan dan dapat mengfungsikan kembali tempat organ atau jaringan tubuh manusia yang telah rusak yang oleh karenanya dibolehkan dan perlu dikembangkan, namun bagaimanapun juga perlu kajian mendalam lebih lanjut agar dalam prakteknya tetap dalam koridor kaedah syari'ah, tidak melenceng dari tujuan kemanusiaan serta menghindari kasus penyalahgunaan, distorsi pelacuran medis dan eksploitasi rendah yang menjadikannya komoditi dan ajang bisnis sehingga justri menampilkan perilaku tidak manusiawi.

Secara prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah "Transplantasi Organ" yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; "Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan." selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu "hurmatul hayyi a'dhamu min hurmatil mayyiti" (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)

Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yang dirinci lagi menjadi dua persoalan yaitu: A. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain baik yang masih hidup maupun sudah mati, dan B. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang najis/haram.

Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam Naql wa Zar'ul A'dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A'dha : 126 ).

Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.

Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:

1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.

2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.

3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4.Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. (Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)

Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa alasan diantaranya: dapat merusak fisik luar manusia, mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup dan transplantasi ini tidak dinilai darurat, serta dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menurunkan sifat genetis. (Ensiklopedi Kedokteran Modern, edisi bahasa Arab III/ 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)

Adapun masalah penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang mati yang kondisinya benar-benar telah mati secara devinif dan medis. Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi:9-12 dan berdasarkan kaedah fiqih diantaranya: " Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan dengan suatu keraguan/tidak yakin ", " Dasar pengambilan hukum adalah tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya."

Berbagai hasil muktamar dan fatwa lembaga-lembaga Islam internasional yang berkomperten membolehkan praktek transplantasi jenis ini diantaranya konperensi OKI (Malaysia, April 1969 M ) dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh diperjualbelikan, Lembaga Fikih Islam dari Liga Dunia Islam (Mekkah, Januari 1985 M.), Majlis Ulama Arab Saudi (SK. No.99 tgl. 6/11/1402 H.) dan Panitia Tetap Fawa Ulama dari negara-negara Islam seperti Kerajaan Yordania dengan ketentuan harus memenuhi persyaratan;

1. Harus dengan persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit 2. Hanya bila dirasa benar-benar memerlukan dan darurat. 3. Bila tidak darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas kepada ahli waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ). Demikian pula negara Kuwait (menurut SK Dirjen Fatwa Dept. Wakaf dan Urusan Islam no.97 tahun 1405 H. ), Mesir. (SK. Panitia Tetap Fatwa Al-Azhar no. 491), dan Al-Jazair (SK Panitia Tetap Fatwa Lembaga Tinggi Islam Aljazair, 20/4/1972)

Disamping itu banyak fatwa ulama bertaraf internasional yang membolehkan praktek tersebut diantaranya: Abdurrahman bin Sa'di ( 1307-1367H.), Ibrahim Alyakubi ( dalam bukunya Syifa Alqobarih ), Jadal Haq (Mufti Mesir dalam majalah Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu'ashiroh II/530 ), DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR. Mahmud As-Sarthowi (Zar'ul A'dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Alasan mereka membolehkannya berdasarkan pada; a. ayat al-Qur’an yang membolehkan mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. (QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3, Al-An’am:119,145, b. anjuran al-Qur’an untuk merawat dan meningkatkan kehidupan (QS. Al-Maidah: 32.c. ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam (QS.2:185, 4:28, 5:6, 22:78), d. hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan. e. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku 'itsaar' tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau membinasakannya.(QS. 95:9) f. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.

Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat kita lihat dua kasus yaitu;

Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.

Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: "Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram." Dalam kaedah fiqh disebutkan "Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat" (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah "Adh Dhararu Yuzaal" (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu surat Al Maidah: 3. "Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa" (Peertimbangan kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173 (Majma' Annahr : II/535, An-Nawawi dalam Al-Majmu' : III/138 ).

Sebagai penutup jawaban, perlu saya kemukakan beberapa catatan untuk praktik transplantasi yang dibolehkan yaitu dari segi Resipien (Reseptor) harus diperhatikan skala prioritas dan pertimbangan dalam memberikan donasi organ atau jaringan seperti tingkat moralitas, mental, perilaku dan track record yang menentramkan lingkungan serta baik bagi dirinya dan orang lain. (QS. Al Hujurat: 1, Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8, Shaad: 28), peranan, jasa atau kiprahnya dalam kehidupan umat (QS. Shaad: 28), hubungan kekerabatan dan tali silatur rahmi ( QS. Al Ahzab: 6), tingkat kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat persediaan.

Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan skala prioritas yaitu ; 1. menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis. 2. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya. 3. Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. 4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas. 5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran, pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.

Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap penyakit menular serta tidak boleh dijadikan komoditas.

Wallahu A'lam Wabillahit taufiq wal Hidayah
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/donor-mata.htm
Read More......

HUKUM BANK ASI

Beberapa saat yang lalu, salah seorang reporter dari sebuah majalah wanita Islam meminta wawancara dengan penulis terkait dengan hukum Bank ASI. Diantara pertanyaan yang diajukan adalah kejadian yang menimpa salah seorang muslimah yang kebetulan melahirkan di salah satu rumah sakit Kristen di Jakarta. Karena beberapa sebab, air susu ibu tersebut tidak keluar, sehingga bayinya tidak bisa menyusui darinya. Akhirnya bayi tersebut minum dari ASI yang disediakan rumah sakit itu, bagaimana hukumnya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian ar-radha' ( penyusuan ) dan kapan seseorang dikatakan sebagai anak susuan atau saudara sesusuan dari orang lain?

Pengertian ar-Radha'
Para ulama berbeda pendapat di dalam mendefinisikan ar -radha'. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha' adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha' adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi'iyah mengatakan ar-radha' adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. al Hanabilah mengatakan ar-radha' adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya. ( Ibnu Nujaim, al Bahru ar Raiq : 3/221, Ibnu Arafah, Syarhu Hudud : 1/316, al Muthi'i, Takmilah al Majmu' : 19/309, al Bahuti, Syarhu Muntaha al Iradat : 4/ 1424)
Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala : " Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. " ( Qs Al Baqarah : 233 )
Hadist Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Hanyasanya persusuan (yang menjadikan kemahraman seseorang) itu terjadi karena kelaparan" ( HR Bukhari dan Muslim ). Maksudnya bahwa seorang bayi yang berumur dua tahun ke bawah ketika merasa lapar, kemudian menyusui, maka dia akan menjadi kenyang. Susu tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan dagingnya.
Jumlah Susuan
Madzhab Syafi'i dan Hambali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata: "Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah SAW?wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." ( HR Muslim )
Kapan seorang bayi menyusui dan dianggap sebagai satu susuan ? Yaitu jika dia menyusui, setelah kenyang dia melepas susuan tersebut menurut kemauannya. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka terhitung dua kali susuan dan seterusnya sampai lima kali menyusu. Kalau si bayi berhenti untuk bernafas, atau menoleh kemudian menyusu lagi, maka hal itu dihitung satu kali susuan saja. ( Sidiq Hassan Khan, Raudhatu an Nadiyah, 2/174 )
Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan :
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payu dara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara as su'uth ( memasukkan susu ke lubang hidungnya ), atau dengan cara al wujur ( menuangkannya langsung ke tenggorakannya ), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhohiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala: "( Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan " ( Qs an Nisa' : 23 )
Hukum Bank ASI
Perbedaan pandangan ulama terhadap beberapa masalah penyusuan di atas, mengakibatkan mereka berbeda pendapat di dalam menyikapi munculnya Bank ASI :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Diantara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya. Dalil-dalilnya sudah dijelaskan di atas. Majma' al Fiqh al Islami OKI dalam Muktamar yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 1-6 Rabi'u at Tsani 1406 H/ 22-28 Desember 1985 M memutuskan bahwa pendirian Bank ASI di negara-negara Islam tidak dibolehkan, dan seorang bayi muslim tidak boleh mengambil ASI darinya.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, diantaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Kesimpulan
Pada awalnya, dalam wawancara tersebut, penulis berpendapat bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya boleh dengan syarat-syarat yang sangat ketat, ternyata pendapat tersebut sudah disampaikan oleh beberapa ulama di Timur Tengah yang terangkum dalam pendapat ketiga. Namun demikian, setelah memperhatikan madharat-madharat yang akan muncul dengan berdirinya Bank ASI di negara-negara Islam, maka akhirnya penulis cenderung untuk mengatakan : sebaiknya tidak usah didirikan Bank ASI selama hal tersebut tidak darurat. Diantara madharat-madharat yang akan ditimbulkan dari pendirian Bank ASI adalah :
Pertama : Terjadinya percampuran nasab, jika distribusi ASI tersebut tidak diatur ini secara ketat.
Kedua : Pendirian Bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar, terlalu berat ditanggung oleh negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Ketiga : ASI yang disimpan dalam Bank, berpotensi untuk terkena virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kualitas ASI bisa menurun drastis, sehingga kelebihan-kelebihan yang dimiliki ASI yang disimpan ini semakin berkurang, jika dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap bayi dari ibunya.
Keempat : Dikhawatirkan ibu-ibu yang berada dalam taraf kemiskinan, ketika melihat peluang penjualan ASI kepada Bank dengan harga tinggi, mereka akan berlomba-lomba untuk menjual ASI-nya dan sebagai gantinya mereka memberikan susu formula untuk anak mereka.
Kelima : Ibu-ibu yang sibuk beraktivitas dan mempunyai kelebihan harta, akan semakin malas menyusui anak-anak mereka, karena bisa membeli ASI dari Bank dengan harga berapapun. Wallahu A'lam
Dr. Ahmad Zain An Najah,MA
http://dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/des10/177-des10.html
Read More......

TAHUN BARU ISLAM

Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijri. Biasa disebut dengan "awwalu's-sanah as-syar'iyah" awal tahun yang disyari'atkan. Penamaan bulan-bulan hijriyah sendiri sudah ada sejak penciptaan langit dan bumi (at-Taubah:36). Dalam potongan khutbah Wada'nya di 'Arafah, di hadapan 124.000 jamaah haji tahun ke-10 H, Rasulullah SAW tegaskan kembali soal asal-muasal cerita 12 bulan ini, "sesungguhnya tanah suci Mekkah sudah Allah Ta’ala sucikan sejak diciptakannya langit dan bumi." Demikian Dr.'Abd.Karim Al-Khatib, Tafsirul Qur'an bil-Qur'an, Juz 5:761.
Nabi SAW sendiri menamakannya syahru'l-lâh al-Muharram, yaitu bulan Allah, sesuai bunyi hadits Muslim dari Abu Hurairah, Shahihul Jami':116. Ada kebaikan yang Allah Ta’ala selipkan dalam penyebutan ini. Dari soal khazanah amal sampai suratan hidup dan mati hingga rahasia dunia masa depan (Syeikh Fauzan, Risalah Fi Ahadits Syahrullah al-Haram).
Semua ini merupakan tadzkirah, tanda-tanda zaman yang harus dibaca secara kauni oleh ummat manusia seiring dengan pergantian waktu dari hari ke hari.
Apa rahasia dan hikmah penamaan Syahrullah Al-Muharram itu? Ada 2 hikmah, tulis Imam Ibnu Rajab (736-895 H), pertama, sebagai indikator keagungan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah Ta’ala dalam mengharamkan bulan Muharram. Ini hak Allah Ta’ala, yang lain tidak berhak mengotak-atiknya. Namun kenyataannya, bulan-bulan Allah Ta’ala ini telah digeser otoritinya oleh negara sebagai pihak pertama yang bertanggungjawab. Penanggalan Islam kalah populer dipentas politik dan bisnis. Kalender Islam seperti barang baru muncul kemaren sore. Padahal Kalender Julian (Julius Caesar) baru muncul sebelum Nabi Isa AS lahir, kira-kira 45 tahun sebelum Masehi. Kalender Gregorian yang banyak dipakai dewasa ini baru disahkan oleh Paus Gregorius XIII pada 24 Februari 1582, atas saran dari Dr. Aloysius Lilius dari Napoli, Italia. Kedua kalender ini penuh dengan hawa paganism, syirik dan klenik, karena lahir dari rahim gereja.
Berdasarkan At-Taubah:36, dapat disimpullkan bahwa Kalender Islam yang berbasis perhitungan bulan qamariyah adalah kalender tertua dimuka bumi ini dengan umur antara 29 dan 30, tidak ada tanggal 28 atau 31 seperti Gregorian punya. Khalifah Umar (13-23 H) sebagai deklatornya menjadikan Muharram sebagai awal tahun kalender Islam dengan ivent semangat hijrah Nabi SAW. Pelanjutnya Khalifah Utsman (23-35 H) menjadikan Muharram sebagai ketentuan waktu pembayaran zakat mal untuk memudahkan perhitungan khaul dalam setahun. Imam As-Samarqandi (w.150 H/767 M) seorang faqih Hanafiyah membawakan riwayat tentang penetapan Muharram sebagai bulan zakat, saat itu khalifah Utsman mengatakan, "Bulan Muharram adalah bulan ditunaikannya zakat kalian, karena bulan ini ada di awal tahun, dan aku memandangnya sebagai waktu terbaik untuk mengambil zakat kalian." (Abu Laits As-Samarqandi, Al-Muhadzzab, Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi. Juz I:204).
Kedua Khulafa'ur-Rasyidin ini tampaknya memiliki harapan besar dengan menjadikan bulan Muharram sebagai munthalaq tajdid atau starting kebangkitan. Khalifah Umar RA dengan pendekatan semangat jihad dan tauhidnya, sementara Khalifah Utsman RA dengan pendekatan kesejahteraan ekonomi. Saat itu tahun baru Islam atau sistem penanggalan Islam tidak ditetapkan dengan mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar', sebagaimana yang biasa berkembang dalam tradisi Barat. Kalender Islam justru ingin menghilangkan unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, seperti pada sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani) yang sarat dengan teologi animisme, kultus dan nafas syirik serta keyakinan lokal yang berseberangan dengan semangat tauhid.
Peringatan Tahun Baru 1 Januari atas dasar Kalender Gregorian (Masehi) adalah piur gereja. Beberapa negara Eropa dewasa ini, ada juga yang berbeda waktu dalam merayakan tahun baru. Gereja Orthodok sendiri sebenarnya lebih menyukai pemakaian kalender Julian (Julius Caesar) daripada kalender Gregorian, dari tahun 45 S.M hingga hari ini.
Mengapa 1 Januari dipilih sebagai hari tahun baru? Di antara tujuannya supaya rangkaian perayaan hari Natal, 25 Desember, lebih panjang dan tampak lebih semarak. Meskipun aliran lain dalam gereja, ada juga yang menetapkan selain tanggal 1 Januari, di antaranya ada yang merayakan tahun barunya pada tanggal 1 Maret, 25 Maret dan 25 Desember. Tahun baru kaum Bahá'í, dimulai pada 21 Maret, namanya "Naw Ruz". Naw Ruz sendiri diadopsi oleh sekte sesat Bahá'í dari hari besar Yahudi selain 'Asyura (Rosh Hasanah) di bulan Muharram. Naw Rûz biasa diadakan pada akhir tahun.

Jangan Nodai Kesucian Tahun Baru
Inilah yang dihindari oleh khalifah 'Umar RA, mengapa tahun baru Islam lebih mengutamakan nilai ibadat dan jihad dalam penentuan tahun barunya, walaupun ada banyak saran yang berkembang di parlemen kekhalifahan Umar RA, saat itu. Khalifah Umar RA tidak menginginkan adanya hisab nujumi, yaitu hitungan tanggal astrologi alias mujarrabat yang menjadi rahasia penetapan tanggal atau bulan tahun baru syamsiyah/masehi, yang kini banyak dikembangkan oleh para normal. Dari sini timbul keyakinan lokal dan setumpuk harapan yang terkadang melangkahi qadha' dan qadar Allah Ta’ala, selain tindakan mubadzir yang menghiasi semarak tahun baru masehi dengan pesta hura-hura, tiup terompet, ritual lilin, dan yang tak ketinggalan nafsu perut dan bawah perut.
Budaya tasyabbuh yang menghiasi pesta tahun baru masehi sebenarnya ingin mengarahkan kaum muslimin untuk lebih mencintai produk luar Islam dan merasa minder dengan tradisi Islam yang bersendikan nilai tauhid dan jiwa ittiba'. Sekecil apapun bentuknya, tasyabbuh pada akhirnya akan menyeret ummat Islam pada kehinaan dan jiwa kerdil, Nabi SAW?menyebutnya dengan "ja'ala'z-dzillah wa's-shighar." (HR.Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu 'Umar).
Beda penanggalan Islam dengan kalender lain adalah pada awal hari barunya. Hari baru pada penanggalan Masehi dimulai pukul 00.00 waktu setempat atau jam 24.00. Sedangkan hari baru pada penanggalan Hijriyah dimulai sejak tenggelamnya matahari di tempat tersebut, biasa disebut dengan waktu ghurub yang ditandai dengan adzan maghrib.

Puasa Muharram Sebagai Tonggak Peringatan
Dalam kaitan dengan ibadah puasa, muharram adalah bulan di mana Rasulullah SAW menetapkan atas wajibnya puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram setiap tahun, sebelum turun ayat puasa (al-Baqarah:183-187) pada tahun kedua Hijrah. Jadi puasa 'Asyura yang kemudian berubah menjadi puasa sunnah adalah cikal bakal puasa bulan suci Ramadhan. Nabi SAW bahkan menambahnya lagi dengan puasa Tâsû'â yakni tanggal 9 Muharram, sehingga puasa Muharram lebih utama dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Dalam hadits Abu Hurairah dari jalan Humaid bin 'Abdirrahman al-Himyari, Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa sebaik-baik puasa sunnah setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan haram, maksudnya bulan Muharram (HR. Muslim, Kitabus Shiam bab: Fadhlu Shaumil Muharram).
Orang Yahudi mempuasakan bulan Muharram, terutama tanggal sepuluhnya, terkait dengan hari pembebasan Bani Israel dari rezim Fir'aun yang tenggelam bersama bala tentaranya di laut merah. Puasa 'Asyura Yahudi mereka warisi dari Nabi Musa, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas r.a. Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah SAW. bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah Ta’ala menyelamatkan Musa AS dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa." Rasulullah SAW. bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian."
Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Puasalah pada hari 'asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad). Keutamaannya antara lain dapat menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu. (HR. Muslim). Dan tidak ada keberuntungan yang besar, selain kaffarah dan maghfirah. Karena kunci rahmat dan karunia Allah Ta’ala ada pada pengampunan, bukan malah bikin dosa saat pergantian tahun baru.
Wallahu’alam Bissowab
Abu Taw Jieh Rabbanie
http://dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/des10/176-des10.html
Read More......

Kamis, 06 Januari 2011

Peta Impian

Impian akan mengarahkan kita kemana akan melangkah, bagaimana akan berbuat dan bersikap. Dengan impian kita akan tau dimana titik akhir dari perjuangan. Dan segera setelah mencapai impian itu, kita dapat menggantikannya dengan impian lain yang belum tercapai.

Sahabat, dalam meraih impian, kita perlu strategi dan peta. Sehingga saat berjalan dan bertemu dengan hambatan, kita dapat memilih untuk melompatinya ataukah memutarinya dan mengambil jalan lain. Tanpa mengubah impian, hanya mengubah arah jalan saja.


Bayangkan anda berada di tengah samudera di atas sebuah speedboat.
Lima puluh kilometer di depan anda adalah sebuah pulau, dan di
pulau itu terdapat semua yang anda inginkan dan cita-citakan.
Semua impian anda. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan itu
semua adalah sampai ke pulau tersebut. Pulau itu ada di belakang
cakrawala. Tapi cakrawala yang mana…?

Masalahnya adalah anda tidak punya kompas, peta, radio, telepon,
dan anda tidak tahu mana arah ke pulau tersebut. Arah yang salah
akan membuat anda melenceng jauh sekali dari pulau impian,
sementara di sekeliling anda yang terlihat cuma laut dan langit.

Dalam dua jam, anda bisa saja telah sampai di pulau impian.
Tetapi bila anda salah arah – anda bisa kehabisan bahan bakar
sebelum bisa mencapai pulau impian.

Hidup tanpa tujuan yang jelas, tanpa mengetahui dan mengerti
kegunaan hidup anda – adalah sama dengan dilema pulau impian.
Semua impian anda sebenarnya bisa tercapai, namun untuk mencapainya
anda harus mengetahui peta impian. Yaitu apa, di mana, dan bagaimana mencapainya. Anda mutlak mengetahui arah untuk mencapainya. Tentukan peta anda sekarang – untuk dapat mencapai impian anda. Buat seteliti dan seakurat mungkin – dan selanjutnya anda tinggal mengarahkan speedboat anda ke pulau impian… Untuk selanjutnya, Anda meraihnya, merengkuhnya, dan tersenyum dengan bangga, “Inilah impianku, dan aku telah mendapatkannya.”
==========
Sahabat, berhentilah sejenak dan mari kita saling mendoakan,doa untuk sahabat kita, orang tua kita, orang yang kita cintai, serta tak lupa admin web ini :) . Semoga peta menuju impian hidup yang kita rancang, diridhoi Allah SWT. Kita sadari tubuh kita, nyawa kita dan nafas kita, sepenuhnya adalah miliknya. Tiada satupun peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, tanpa ridhoNya. Selamat berjuang sahabat… Impian itu, sudah rindu untuk kita rengkuh, dan kita peluk.


http://www.resensi.net/peta-impian/2009/12/#ixzz1AGy39L5C
Read More......

ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN AHMAD ADZ-DZAHABI

NAMA DAN NASABNYA

Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Beliau berasal dari negara Turkumanistan, dan maula Bani Tamim.

KELAHIRANNYA

Beliau dilahirkan pada tahun 673 H di Mayyafariqin Diyar Bakr. Beliau dikenal dengan kekuatan hafalan, kecerdasan, kewaraan, kezuhudan, kelurusan akidah dan kefasihan lisannya.


GURU-GURUNYA

Beliau menuntut ilmu sejak usia dini, dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua bidang ilmu; Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Beliau menempuh perjalanan yang jauh dalam mencari ilmu, ke Syam, Mesir dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para ulama di negeri-negeri tersebut. Diantara para ulama yang menjadi guru-guru beliau adalah:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang beliau letakkan namannya paling awal di deretan guru-guru yang memberikan ijazah pada beliau dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau begitu mengagumi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung, jika aku yang menyifatinya. Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan maqam, maka sungguh aku akan bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat yang semisalnya. Tidak –demi Allah–, bahkan beliau sendiri belum pernah melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” {Radd al-Wafir (hal. 35)}

2. Al-Hafizh Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, yang dikatakan oleh beliau, “Beliau adalah sandaran kami jika kami menemui masalah-masalah yang musykil.” {Ad-Durar al-Kaminah (V:235)}

3. Al-Hafizh Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali, yang menyemangati beliau dalam belajar ilmu Hadits. Beliau mengatakan tentangnya, “Beliaulah yang menjadikanku mencintai ilmu Hadits.” {Ad-Durar al-Kaminah (III:323)}

Ketiga ulama diatas adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap kepribadian beliau. Adapun guru-guru beliau yang lainnya adalah Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab binti Umar bin Kindi, al-Abuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiq al-Ied, Abu Muhammad ad-Dimyathi, Abu al-Abbas azh-Zhahiri, Ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin Ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.

Imam adz-Dzahabi memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru –ed.) beliau yang jumlahnya mencapai 3000-an orang. {Adz-Dzahabi wa Manhajuh fi Kitabih, Tarikh al-Islam}

MURID-MURIDNYA

Diantara murid beliau adalah Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali al-Husaini, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh Ibnu Rajab, dan masih banyak lagi selain mereka.

PUJIAN PARA ULAMA KEPADA BELIAU

Imam Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah ayat (tanda kebesaran Allah –ed.) dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu kritik hadits –ed.) lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan mazhab-mazhab para imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan mazhab salaf di kalangan generasi yang datang belakangan.” {Radd al-Wafir (hal. 13)}

Ibnu Katsir berkata, “Beliau adalah Syaikh al-Hafizh al-Kabir, pakar Tarikh Islam, Syaikh al-Muhadditsin… Beliau adalah penutup syuyukh Hadits dan huffazh-nya.” [Al-Bidayah wa an-Nihayah (XIV:225)]

Tajuddin as-Subki berkata, “Beliau adalah syaikh jarh wa ta’dil, pakar rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat, kemudian beliau melihat dan mengungkapkan seja mereka.” [Thabaqat Syafi'iyyah Kubra (IX:101)]

An-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas dan ketenarannya sudah mencukupi daripada menyebutkan sifat-sifatnya.” {Ad-Durar Al-Kaminah (III:427)}

Ash-Shafadi berkata, “Beliau seorang hafizh yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadits dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ‘illah dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi manusia. Menghilangkan ketidak jelasan dan kekaburan dalam seja manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbatnya kepada dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya, dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan beliau adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, mazhab-mazhab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.” {Al-Wafi bi al-Wafayat (II:163)}

DIANTARA PERKATAAN-PERKATAAN BELIAU

Imam adz-Dzahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam, melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi Sunnah. Karena itulah ulama salaf mencela setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat sebelum Islam. Ilmu Kalam turunan dari ilmu para filosof Atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para Nabi dengan ilmu para ahli Filsafat dengan mengandalkan kecerdasannya, maka pasti ia akan menyelisihi para Nabi dan para ahli Filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang dibawa oleh para Rasul… Maka sungguh ia telah menempuh jalan salaf, dan menyelamatkan agama dan keyakinannya.” {Mizan al-I’tidal (III:144)}

Beliau menukil perkataan Ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang menuntut ilmu untuk selain Allah, maka ilmu itu enggan hingga semata-mata untuk Allah.” Kemudian beliau mengomentari perkataan Ma’mar tersebut dengan mengatakan, “Ya, ia awalnya menuntut ilmu atas dorongan kecintaan kepada ilmu agar menghilangkan kejahilannya, agar mendapat pekerjaan dan yang semacamnya. Ia belum tahu tentang wajibnya ikhlas dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika sudah mengetahuinya, ia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya atau sebagiannya. Kadang ia bertaubat dari niatnya yang keliru dan menyesal. Tanda atas hal itu ialah bahwasanya ia mengurangi dari klaim-klaim, perdebatan dan perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan ia hinakan dirinya. Adapun jika ia merasa banyak ilmunya atau mengatakan, ‘Saya lebih berilmu dari pada Fulan,’ maka sungguh celakalah ia.” {Siyar A’lam an-Nubala’ (VII:17)}

Beliau berkata, “Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya bertakwa, cerdas, mahir Nahwu, mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan bermanhaj salaf.” {Siyar (XIII:380)}

Beliau berkata, “Ahli Hadits sekarang hendaknya memperhatikan Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad dan Sunan al-Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian tidak mengambil manfaat dari hal itu hingga ia bertakwa kepada Rabb-nya dan menjadikan Hadits sebagai dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, tetapi ia adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati, dan syaratnya adalah ittiba’ (mengikuti Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– –ed.), dan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kebid’ahan.” {Siyar (XIII:323)}

Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taklid dalam hal furu’, tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu dan pemikiran ahli Filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah merahmati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Quran, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab ash-Shahihain dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” {Tadzkirah al-Huffazh (II:530)}

KARYA-KARYANYA

Beliau memiliki sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu adalah:

1. Al-’Uluww li al-’Aliyyil Ghaffar

2. Taariikh al-Islaam

3. Siyar A’laam an-Nubalaa’

4. Mukhtashar Tahdziib al-Kamaal

5. Miizaan al-I’tidaal fii Naqd ar-Rijaal

6. Thabaqah al-Huffazh

7. Al-Kaasyif fii man lahu Riwaayah fii al-Kutub as-Sittah

8. Mukhtashar Sunan al-Baihaqii

9. Halaqah al-Badr fii ‘Adadi Ahli Badr

10. Thabaqat al-Qurra’

11. Naba’u Dajjal

12. Tahdziib at-Tahdziib

13. Tanqiih Ahaadiits at-Ta’liiq

14. Muqtana fii al-Kuna

15. Al-Mughnii fii adh-Dhu’afaa’

16. Al-’Ibar fii Khabar man Ghabar

17. Talkhiish al-Mustadrak

18. Ikhtishar Taarikh al-Kathib

19. Al-Kabaair

20. Tahriim al-Adbar

21. Tauqif Ahli Taufiq fii Manaaqib ash-Shiddiq

22. Ni’mas Samar fii Manaaqib ‘Umar

23. At-Tibyaan fii Manaaqib ‘Utsman

24. Fath al-Mathalib fii Akhbaar ‘Alii bin Abii Thalib

25. Ma Ba’da al-Maut

26. Ikhtishar Kitaab al-Qadar li al-Baihaqi

27. Nafdh al-Ja’bah fii Akhbaar Syu’bah

28. Ikhtishar Kitab al-Jihad, Asakir

29. Mukhtashar Athraafi al-Mizzii

30. At-Tajriid fii Asmaa’ ash-Shahaabah

31. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim

32. Mukthashar al-Muhallaa

33. Tartiil Maudhuu’at, Ibnu al-Jauzi

WAFATNYA

Beliau wafat pada malam Senin 3 Dzulqa’dah 748 H di Damaskus, Syiria, dan dimakamkan di pekuburan Bab ash-Shaghir.

[Sumber: Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra, Tajuddin as-Subki (IX:100-116), Radd al-Wafiir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (hal.31-32), Abjad al-'Ulum, Shiddiq Hasan Khan (III:99-100), dan Dzail Tadzkirah al-Huffazh (I:34-37)]
Read More......

Hukum Memakai Cincin Selain dari Emas Bagi Laki-Laki

Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia berkata:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ شَبَهٍ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الْأَصْنَامِ فَطَرَحَهُ ثُمَّ جَاءَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ فَقَالَ مَا لِي أَرَى عَلَيْكَ حِلْيَةَ أَهْلِ النَّارِ فَطَرَحَهُ

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan cincin terbuat dari kuningan. Lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya mencium darimu aroma berhala?” lalu dia membuangnya. Kemudian datang kepadanya yang memakai cincin dari besi, lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya melihatmu memakai perhiasan penduduk neraka?” lalu dia membuangnya. (HR. Abu Daud No. 4223. An Nasa’i No. 5159, lafaz ini milik Abu Daud)


Sementara dalam lafaz Imam At Tirmidzi, ada redaksi tambahan:

ثم أتاه وعليه خاتم من ذهب فقال مالي أرى عليك حلية أهل الجنة

Kemudian datang kepadanya seseorang yang memakai cincin dari emas. Lalu Beliau bersabda: “Kenapa saya melihat padamu perhiasan penduduk surga?” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: gharib)

Hadits ini sering dijadikan dalil keharaman memakai cincin buat laki-laki baik dari kuningan, besi, perak, dan emas. Tetapi, semua riwayat ini dhaif. (Lihat Adabuz Zifaf Hal. 128. Al Misykah No. 4396. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4223. Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 5159)

Kedhaifan ini lantaran dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muslim Abu Thayyibah As Sulami Al Mawarzi. Abu Hatim Ar Razi mengatakan: haditsnya ditulis tetapi dia tidak bisa dijadikan hujjah. (Al Jarh wa Ta’dil, 5/165/671. Darul Kutub Al Mishriyah)

Imam Ibnu Hibban mengatakan: dia melakukan kesalahan dan berselisih. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 11/191. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Maka dalam masalah ini, ketiadaan dalil pengharaman, merupakan dalil bagi kebolehan. Kita mesti kembali kepada bara’atul ashliyah (kembali kepada hukum asal) yakni bolehnya memakai cincin selain emas, baik itu besi, kuningan, dan perak, atau logam lainnya walau berharga tinggi.

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة السرف أو الخيلاء

“Saya tidak memakruhkan bagi laki-laki yang memakai mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan hiasan wanita, tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai yaqut dan permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul Fikr)

Orang-orang mulia pun memakainya, Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud memakai cincin besi (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 17/113. Muasasah Al Qurthubah). Sedangkan Syuraik sebelum diangkat menjadi qadhi, juga Imam Abu Hanifah, memakai cincin perak. (Ibid, 17/115) kalau pun banyak para salaf yang tidak memakai cincin tidak berarti mereka mengharamkan.

Tentang cincin besi, Imam An Nawawi mengatakan:

وَلِأَصْحَابِنَا فِي كَرَاهَته وَجْهَانِ : أَصَحّهمَا لَا يُكْرَه لِأَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف

“Dan bagi sahabat-sahabat kami, tentang kemakruhan memakai cincin besi ada dua pendapat, yang paling benar adalah tidak makruh. Karena hadits tentang larangannya adalah dhaif. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/134. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Adapun keharaman emas bagi laki-laki telah ditegaskan oleh banyak riwayat shahih, bahkan mutawatir. Ada pun selain emas, maka pihak yang mengharamkan tidak memiliki pijakan yang kuat. Oleh karena itu berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi tentang perak:

قُلْت : وَالْحَدِيث مَعَ ضَعْفه يُعَارِض حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة مَرْفُوعًا بِلَفْظِ ” وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالْفِضَّةِ فَالْعَبُوا بِهَا ” أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَسَيَأْتِي وَإِسْنَاده صَحِيح ، فَإِنَّ هَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى الرُّخْصَة فِي اِسْتِعْمَال الْفِضَّة لِلرِّجَالِ ، وَأَنَّ فِي تَحْرِيم الْفِضَّة عَلَى الرِّجَال لَمْ يَثْبُت فِيهِ شَيْء عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّمَا جَاءَتْ الْأَخْبَار الْمُتَوَاتِرَة فِي تَحْرِيم الذَّهَب وَالْحَرِير عَلَى الرِّجَال فَلَا يَحْرُم عَلَيْهِمْ اِسْتِعْمَال الْفِضَّة إِلَّا بِدَلِيلٍ وَلَمْ يَثْبُت فِيهِ دَلِيل . وَاَللَّه أَعْلَم

“Saya berkata: hadits ini bersamaan kedhaifannya telah bertentangan dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz: “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya..” Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam hadits selanjutnya, dengan sanad yang shahih. Hadits ini menunjukkan keringanan dalam menggunakan perak bagi laki-laki, ada pun pengharaman perak bagi laki-laki tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ada hanyalah riwayat mutawatir tentang pengharaman emas dan sutera bagi laki-laki. Maka, tidaklah mereka diharamkan memakai perak kecuali dengan dalil, dan ternyata tidak ada dalil yang kuat dalam masalah ini. Wallahu A’lam.” (Ibid, 11/190)

Imam Asy Syaukani juga menyatakan kebolehannya, menurutnya tidak satu pun hadits shahih tentang pengharaman cincin perak, dan beliau juga menyebutkan hadits “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr mengatakan:

وأن خاتم النبي صلى الله عليه وسلم كان من فضة، وأنه توفي وهو في يده، ثم صار في يد أبي بكر ثم في يد عمر ثم في يد عثمان ، وفي أثناء خلافته سقط من يده في بئر أريس. فاتخاذ الخاتم من الفضة ثبتت فيه الأحاديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Sesungguhnya cincin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbuat dari perak, ketika beliau wafat cincin itu masih ditangannya, lalu berpindah tangan ke Abu Bakar, kemudian ke tangan Umar, kemudian Utsman. Ketika masa kekhilafahan Utsman jatuh dari tangannya ke sumur urais. Menggunakan cincin perak telah dikuatkan oleh berbagai hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 473. Maktabah Misykah)

Imam Ibnu Muflih mengatakan:

لاَ أَعْرِفُ عَلَى تَحْرِيمِ لُبْسِ الْفِضَّةِ نَصًّا عَنْ أَحْمَدَ وَكَلاَمُ شَيْخِنَا ( يَعْنِي ابْنَ تَيْمِيَّةَ ) يَدُل عَلَى إِبَاحَةِ لُبْسِهَا لِلرِّجَال إِلاَّ مَا دَل الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ ، أَيْ مِمَّا فِيهِ تَشَبُّهٌ أَوْ إِسْرَافٌ أَوْ مَا كَانَ عَلَى شَكْل صَلِيبٍ وَنَحْوِهِ

“Aku tidak mengetahui adanya perkataan dari Imam Ahmad tentang pengharaman memakai perak. Dan ucapan syaikh kami (yakni Ibnu Tamiyah) menunjukkan kebolehan memakai perak bagi laki-laki, kecuali jika ada dalil syara’ yang menunjukkan keharamannya, yaitu apa-apa yang di dalamnya terdapat penyerupaan (dengan emas) dan berlebihan, atau yang bentuknya menyerupai salib, dan lainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 18/111)

Ulama dari Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan memakai cincin walaupun sedang ihram. (Ibid, 2/170)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan:

لا حرج في لبس الساعة في اليد اليمنى أو اليسرى كالخاتم وقد ثبت عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، أنه لبس الخاتم في اليمنى وفي اليسرى ، ولا حرج في لبس الحديد من الساعة والخاتم لما ثبت عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، في الصحيحين أنه قال للخاطب { التمس ولو خاتماً من حديد } أما ما يروى عنه، – صلى الله عليه وسلم – ، في التنفير من ذلك فشاذ مخالف لهذا الحديث الصحيح .

“Tidak mengapa memakai jam di tangan kanan atau kiri sebagaimana cincin. Telah tsabit (shahih) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memakai cincin di kanan dan di kiri, dan tidak mengapa memakai jam dan cincin dari besi, sebab telah tsabit dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahihain, bahwa Beliau bersabda kepada orang yang melamar: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi.” Ada pun riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan agar hal itu dijauhi adalah riwayat yang syadz (janggal) bertentangan dengan hadits shahih ini.” (Fatawa Islamiyah, 4/324. Dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin juga menjadikan hadits: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi,” sebagai dalil bolehnya memakai cincin besi. (Syaikh Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb, No. 193)

Demikian tentang kebolehan memakai cincin selain emas, beserta fatwa para imam, dan penjelasan dhaifnya hadits yang melarangnya.

Wallahu A’lam

Oleh: Farid Nu’man Hasan

http://www.inilahjalanku.com/hukum-memakai-cincin-selain-dari-emas-bagi-laki-laki/
Read More......