Halaman

Jumat, 12 November 2010

Cinta Ayah

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, anak perempuan yang sedang bekerja diperantauan, anak perempuan yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, anak perempuan yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya…..akan sering merasa kangen sekali dengan ibunya.

Lalu bagaimana dengan Ayah?


Mungkin karena ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata ayah-lah yang mengingatkan Ibu untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah Ayah selalu menanyakan pada Ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil…… Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Ayah mengganggapmu bisa, Ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu…

Kemudian Ibu bilang : “Jangan dulu Ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya” ,
Ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka….
Tapi sadarkah kamu?

Bahwa Ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Ibu menatapmu iba.. Tetapi Ayah akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang”

Tahukah kamu, Ayah melakukan itu karena Ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, Ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata :
“Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Ibu yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut.
Ketahuilah, saat itu Ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja….
Kamu mulai menuntut pada Ayah untuk dapat izin keluar malam, dan Ayah bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”.
Tahukah kamu, bahwa Ayah melakukan itu untuk menjagamu?
Karena bagi Ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga..

Setelah itu kamu marah pada Ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu…
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Ibu….
Tahukah kamu, bahwa saat itu Ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya,
Bahwa Ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu,

Ayah akan memasang wajah paling cool sedunia…. :’)
Ayah sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu..

Sadarkah kamu, kalau hati Ayah merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya.

Maka yang dilakukan Ayah adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir…
Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut…
Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Ayah akan mengeras dan Ayah memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Ayah akan segera datang?

“Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Ayah”
Setelah lulus SMA, Ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Sarjana.
Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Ayah itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti…
Tapi toh Ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Ayah..

cinta ayah 2Ketika kamu menjadi gadis dewasa…..Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain…
Ayah harus melepasmu di bandara.

Tahukah kamu bahwa badan Ayah terasa kaku untuk memelukmu?
Ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. .
Padahal Ayah ingin sekali menangis seperti Ibu dan memelukmu erat-erat.

Yang Ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”.
Ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT…kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Ayah.

Ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.
Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Ayah tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan….

Kata-kata yang keluar dari mulut Ayah adalah : “Tidak….. Tidak bisa!”
Padahal dalam batin Ayah, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Ayah belikan untukmu”.

Tahukah kamu bahwa pada saat itu Ayah merasa gagal membuat anaknya tersenyum?

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”

Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Ayah untuk mengambilmu darinya.
Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin..
Karena Ayah tahu……

Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya….
Saat Ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Ayah pun tersenyum bahagia…..
Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?

Ayah menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Ayah berdoa…..
Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Ayah berkata:

“Ya Allah, ya Tuhanku …..Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita dewasa yang cantik….
Bahagiakanlah ia bersama suaminya…”

Setelah itu Ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk…
Ayah telah menyelesaikan tugasnya menjagamu …..

Ayah, Bapak, atau Abah kita…Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…
Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis…
Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. .

Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..


Read more: http://www.resensi.net/cinta-ayah/2010/08/23/#ixzz154qnxgHb
Read More......

KAWIN LARI DALAM PANDANGAN SYARI’AT ISLAM

Sekitar awal tahun 2000-an, waktu itu saya masih kuliah dan aktif dalam sebuah organisasi kemahasiswaan garis keras, ada kasus dimana salah seorang kenalan dari kawan kami yang mengalami masalah. Dia ingin menikah dengan pria pujaan hatinya tapi sang ayah tiada rela. Kedua sejoli ini aktif dalam sebuah pengajian yang dipimpin seorang ustadz di salah satu daerah pinggiran Jakarta. Ada kemungkinan di pengajian itulah cinta lokasi bersemi. Ketika rasa naksir sudah dipupuk, maka pasti jadinya tak terkendali, sehingga prinsip "sehidup semati, gunung tinggi akan kudaki dan laut luas pasti kuseberangi" menjadi motivasi dari kedua sejoli ini.


Menjadi masalah ketika si pria meminang permaisuri hatinya tapi orangtua si gadis tak menyutujui. Alasan ketidaksetujuan si ayah gadis ini waktu itu (kalau tidak salah) masalah ekonomi, dan kedua pihak terutama si gadis sangat berkeras hati, sehingga konflik ayah anak tak dapat dihindari. Singkat cerita gadis yang sudah menyandang predikat akhwat (karena aktifis pengajian dengan jilbab panjang) ini memilih jalan sendiri, yaitu mengajak si ikhwan untuk "kawin lari".
Dalam hal ini dia disupport oleh ustadz mereka. Alasannya, si orangtua tidak berhak memaksa anaknya untuk menikah atau tidak menikah dengan pria pujaan hati anaknya itu. Dari itu sang ustadz yang entah seberapa jauh kapasitas keilmuan syar'inya ini memfatwakan bahwa hak perwalian si ayah sudah gugur dan akhirnya dia yang menjadi wali untuk kemudian menikahkan ikhwan dan akhwat yang kabur dari rumah ini. Waktu itu alasan yang mencuat adalah mereka berpegang pada madzhab Hanafi yang -menurut mereka- membolehkan wanita menikah tanpa wali.
Seberapa jauh kebenaran dalil tersebut, lalu bagaimana status validitas kawin lari atau tanpa persetujuan wali pihak perempuan dalam Islam? Bagaimana pula bila seorang wali memaksa anaknya untuk tidak menikah dengan pria pilihan si anak dengan berbagai alasan?
Pensyaratan Wali
Pensyaratan adanya wali nikah bagi pengantin wanita adalah madzhab mayoritas ulama. Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali menganggap tidak sah pernikahan tanpa persetujuan wali dari pihak wanita.
Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita dewasa yang merdeka dan berakal sempurna berhak menikahkan dirinya sendiri dan hanya dianjurkan untuk minta persetujuan wali bila calon suaminya dianggap se-kufu` (sepadan). Dalam hal ini sama saja apakah wanita itu masih gadis atau sudah janda.
Ada lagi madzhab Daud Azh-Zhahiri yang memandang bahwa wali disyaratkan hanya untuk gadis, sedangkan janda tidak diwajibkan memakai wali.
Bila ditinjau dari segi dalil dan berbagai sisi syariat, pendapat mayoritas ulamalah yang lebih kuat. Banyak hadits yang mencantumkan wali sebagai syarat pernikahan dan sebuah akad nikah tidak sah bila tidak disetujui oleh wali sang pengantin wanita. Berikut di antaranya:

Dari Abu Musa, Nabi saw bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, "Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batal. Jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia (istri) berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari kahalalan kemaluannya. Andai mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-pen,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali." (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dari Imran bin Hushain, Rasulullah saw bersabda, "Tidak (sah) pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi." (HR. Ahmad)

Hadits-hadits di atas kualitasnya shahih dan tak terbantahkan dari segi sanad, selain banyak mutabi'(penguat dengan jalur yang sama) juga banyak syahid (peguat dengan sanad berbeda). Pembahasan tentang ke-shahih-an hadits-hadits di atas dapat dilihat dalam kitab Irwa` Al-Ghalil, no. 1840, 1858, 1865.

Mengingat kuatnya dalil-dalil para jumhur maka kami berkesimpulan bahwa tidak sah seorang wanita menikah tanpa persetujuan walinya dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau melalui wali lain bila wali terdekat masih ada, terutama ayah. Dikecualikan dari hal ini adalah ketika terjadi kasuswali 'adhil.
Wali ‘Adhil

Kata ‘Adhil (عاضِلٌ) (dengan memakai huruf dhad) artinya mempersulit atau menekan atau menahan. Dalam fikih pernikahan ada istilah ‘adhl al-wali artinya wali si wanita mempersulit atau tidak mau menikahkan wanita dibawah perwaliannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan si wanita itu dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat.

Seorang wali dilarang melakukan ‘adhl (penyulitan), dan larangan ini langsung diucapkan oleh Allah dalam Al-Qur`an,

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya..."

(Qs. Al-Baqarah : 232).
Ayat ini turun berkenaan dengan kasus Ma'qil bin Yasar, dia berkata, "Aku pernah menikahkan salah seorang adikku dengan seorang pria. Lalu dia menceraikan adikku itu, sampai ketika selesai masa iddahnya dia datang kembali melamar adikku tadi. Lalu aku katakan padanya, "Aku sudah menikahkanmu dengannya, dan aku buat engkau mulia dengan itu tapi kau malah menceraikannya. Tidak! Kau tak kan mendapatkannya lagi selama-lamanya!!" Dia sendiri seorang pria yang baik tak bermasalah, dan adikku pun masih menginginkannya kembali, sehingga turunlah ayat (surah Al-Baqarah : 232). Aku pun mengatakan, "Sekarang lakukanlah wahai Rasulullah." Akhirnya Ma'qilpun menikahkan pria tadi kembali dengan adiknya." (HR. Al-Bukhari dalam shahihnya, no. 2087)
Dengan demikian, seorang wali termasuk ayah dilarang mempersulit anaknya bila ingin menikah dengan pria yang sudah dicintai dan memang tidak ada masalah dari sisi akhlak dan agama.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika datang melamar kepada kalian (para wali) seorang lelaki yang kalian ridhai (kehidupan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (terima lamarannya), kalau tidak akan terjadi fitnah dan kerusakan melebar di muka bumi."

(HR. At-Tirmidzi, no. 1084, Ibnu Majah, no. 1967. Teks di atas dalam riwayat At-Tirmidzi. Al-Albani menganggapnya hasan sebagaimana dalam Irwa` Al-Ghalil, no. 1868).
Bila seorang wali mempersulit dengan tidak mau menikahkan anaknya dengan pria idamannya dengan alasan yang tidak dibenarkan agama, maka si anak hendaknya mengajukan masalah ini kepada hakim. Lalu, hakim yang akan menikahkan anak tersebut dengan pria itu.
Dalam kompilasi hukum islam yang merupakan salah satu undang-undang perkawinan di Indonesia pasal 23 ayat 2 disebutkan: "Dalam hal wali 'adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut."
Jadi, bila ada pasangan yang mendapat halangan dari wali hendaknya mengajukan masalah ini ke pengadilan agama baik sendiri maupun didampingi pegacara. Itulah cara yang syar'i dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan kawin lari.

Kewajiban Taat pada Orangtua
Dalam masalah pernikahan, orangtua yang baik tentu tidak akan rela putera dan puterinya mendapatkan pasangan yang akan menyengsarakan kehidupan sang anak. Semua orangtua berkeinginan anaknya mendapatkan jodoh yang membahagiakan dan menyejahterakan.

Hanya saja, terkadang cara pandang mereka dalam menentukan kebahagian itu yang berbeda dengan si anak. Di sinilah terkadang terjadi gesekan kepentingan, sehingga tak jarang berujung kepada masalah perkawinan.

Meski demikian seorang anak hendaklah senantiasa menempatkan keridhaan orangtua sebagai prioritas utama dalam hidupnya, mengingat Rasulullah SAW sudah berpesan, "Keridhaan Allah berada pada keridhaan orangtua dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orangtua." (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin 'Amr. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2501).

Bahkan perintah orangtua juga wajib ditaati dalam masalah pemilihan dan pemutusan jodoh selama alasannya dibenarkan oleh syariat. Pernah suatu ketika Umar bin Al-Khaththab memerintahkan puteranya Abdullah bin Umar menceraikan istrinya. Abdullah tidak bersedia karena dia masih mencintai istrinya itu, lalu kasus mereka dibawa ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepada Abdullah, "Ceraikan dia!" (HR. Abu Daud dalam sunannya, no. 5138, At-Tirmidzi, no. 1189, Ibnu Majah, no. 2088, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Irwa`Al-Ghalil juz 7 hal. 136-137).

Artinya, Rasulullah SAW memerintahkan Abdullah bin Umar untuk patuh kepada ayahnya. Ini semua lantaran sebab yang dipastikan dapat dibenarkan agama, sehingga Umar tidak menyukai menantunya itu.
Tapi ini tergantung situasi dan kondisi apa si orang tua itu tidak suka.

Kasus serupa pernah terjadi di masa Imam Ahmad bin Hanbal, di mana ada seorang pria mendatangi beliau mengadukan bahwa ayahnya menyuruhnya menceraikan istrinya, tapi ia masih mencintai istrinya itu. Imam Ahmad mengatakan, "Kalau begitu jangan ceraikan istrimu." Pria tadi mengatakan, "Bukankah Nabishallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu Umar untuk menceraikan istrinya karena diminta ayahnya, Umar?" Imam Ahmad menjawab, "Apakah ayahmu sama dengan Umar?!"

Syekh Al-‘Utsaimin (salah seorang ulama besar dari Arab Saudi, al-marhum) memberi alasan dalam kasus ini, "Umar kita pahami dengan yakin bahwa ia tidak akan menyuruh Abdullah menceraikan istrinya tanpa alasan syar'i, yang bisa jadi tidak diketahui Abdullah. Karena, mustahil rasanya Umar meminta anaknya menceraikan istrinya tanpa sebab yang syar'i, itu sangat jauh kemungkinannya." (Lihat kitab, Syarh Riyadh Ash-Shalihin juz II, hal. 216).

Dengan kata lain, kalau tingkat ketakwaan ayah orang tadi sudah sama dengan Umar (dan itu tidak mungkin) atau paling tidak terkenal dengan kesalehannya barulah si anak wajib mentaatinya dalam nikah atau cerai.

Kasus di atas adalah untuk anak laki-laki yang notabene tidak terikat dengan keputusan orangtua dalam hal menentukan jodoh. Apalagi untuk anak perempuan yang wajib mendapat restu walinya untuk menikah.

Maka, jika orangtua tidak setuju dengan calon menantu prianya dengan alasan yang bisa dibenarkan dalam agama ataupun logika, hendaknya si gadis menurut. Insya Allah itu akan lebih selamat dunia dan akhirat. Namun bila alasannya tidak dapat diterima secara agama maupun logika, maka hendaknya minta bantuan penasehat untuk memberi penyadaran kepada si orangtua. Dalam keadaan dead lock atau orangtua melakukan ‘adhl (penahanan nikah tanpa alasan kuat) maka si anak punya hak untuk mengajukan masalah ini ke pengadilan agama.
http://www.pa-tual.net/index.php?option=com_content&view=article&id=131:kawin-lari-dalam-pandangan-syariat-islam&catid=48:artikel&Itemid=124
Read More......