Halaman

Selasa, 20 Maret 2012

Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah bag. Jika

Kerangka Pemikiran Aswaja memiliki pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama- ulama yang mumpuni. Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar. Aswaja juga memadukan antara kekuatan rohani, aqli dan jasadi (material).Teks-teks aqidah juga membahas persoalan karamah para wali, kedudukan mereka di sisi Allah, kemungkinan para ulama yang benar mendapatkan ilham dan diberikan ilmu yang tidak diberikan kepada orang biasa meskipun mereka tidak ma’sum. Juga dijelaskan kedudukan mereka yang istimewa sebagai pewaris para nabi.
Ulama Aswaja juga tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani. Ketika para ulama Aswaja mempunyai pendirian yang tegas terhadap golongan sesat -- karena jelas kesesatannya -- pada saat yang sama, mereka mengambil pendekatan yang tasamuh (berlapang dada) terhadap perbedaan- perbedaan di dalam kalangan Sunni itu sendiri. Aswaja membedakan persoalan-persoalan tsawabit (yang tetap) dengan persoalan mutaghayyirat (yang berubah), yang muhkamat (jelas) dan mutasyabihat (tidak jelas). Dalam perkara yang tsawabit, karena teksnya jelas (qath’i) dan tidak mengundang khilaf antara ulama, mereka harus bersepakat dan tidak boleh berbeda pendapat dari segi prinsipnya. Namun dalam perkara yang mutaghayyirat, yang memerlukan penafsiran, para ulama bergantung dengan kemampuan dan kefahaman masing-masing. Mereka boleh berbeda dan tidak sewajarnya memaksakan pendapat terhadap orang lain, khususnya jika pandangan orang lain itu memiliki dasar yang juga kuat untuk berbeda pendapat. Disinilah perbedaan ( ikhtilaf ) menjadi rahmat, dan ijtihad masing-masing ulama mendapat pahala yang baik di sisi Allah, asalkan dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan amanah ilmiah. Pandangan mereka harus diterima dan ditolak mengikut kekuatan hujah masing- masing. Keterbukaan ini sewajarnya dapat menghindarkan umat Islam dari perangkap fanatisme, ta’assub dan berfikiran sempit sehingga cenderung mudah menyesatkan saudaranya seiman. Ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu. Memahami sejarah dan pemikiran Islam klasik semacam ini sangat penting sebagaimodal untuk menghadapi tantangan pemikiran saat ini. Sarjana-sarjana besar, seperti Dr. Muhammad Iqbal, sering mengingatkan agar umat Islam melihat sejenak ke belakang untuk dapat maju ke depan. Ada kaidah dan rumusan yang telah diwariskan generasi awal (al-salaf al-shaleh) yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Sebab, sejarah sebenarnya sering berulang dengan aktor-aktor yang berbeda. Dan orang yang cerdas adalah yang dapat mengambil pelajaran dari masa lalu. Wallahu a’lam bil-shawab. (***) sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=304:prinsip-dan-ukhuwah-ahlus-sunnah-wal-jamaah&catid=21:sejarah&Itemid=19 Read More......

Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah bag. I

WRITTEN BY KHALIF MUAMMAR Siapa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah? Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al- Firaq , menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal- Jama’ah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al- Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal- Jama’ah . Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al- Salaf al-Salih. Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al- Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al- Sanusiyyah dan sebagainya.
. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al- Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah. Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya. Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists ) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia ( al-la adriyyah ), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya ( al-‘indiyyah ), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah ). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme. Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi , juga Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al- Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah. Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya. Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists ) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia ( al-la adriyyah ), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya ( al-‘indiyyah ), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah ). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme. Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi , juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al- hawass al- salimah ), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat . Menyimpang Para ulama Aswa ja juga menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk. Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb. Prinsip ini memberikan pengajaran tentang bagaimana menyikapi ayat-ayat dan hadis, supaya tidak tergolong dalam orang-orang yang menolaknya (ta’til) dengan alasan tidak dapat diterima oleh akal rasional, atau golongan yang cenderung menerimanya secara harfiyyah tanpa pemahaman yang mendalam sehingga menyalahi apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya sendiri. Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al- Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al- Rasyidun tanpa prejudis. Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks). Mereka juga sepakat bahwa para imam yang empat (mazhab fiqh) adalah yang imam-imam yang mu’tabar (otoritatif). Perbedaan antara mereka adalah perbedaan khilafiyyah yang dibenarkan, dan ijtihad yang satu tidak membatalkan ijtihad yang lain. Hal yang sama harus digunakan dalam menyikapi perbedaan antara al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi dan tasawuf. Jika Ibn Taymiyyah berbeda dan mengkritik al-Ghazali, umat Islam tidak harus menganggapnya sebagai satu bentuk penyesatan, melainkan satu ijtihad yang boleh jadi benar boleh jadi salah (al-khata’ wa al- sawab), bukan persoalan al-haq (benar) dan al- batil (sesat). Jika ditelusuri dengan lebih lanjut golongan Salafiyyah umumnya berpegang kepada al-Aqidah al-Tahawiyyah dan golongan Asya’irah berpegang kepada A’qa’id al-Nasafi yang jika dibuat perbandingan jelas bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Kerana itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan mengundang fitnah yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini untuk mengelakkan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang dengan mudah menghalalkan darah orang Islam. Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al- I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme). >>>> bag Jika Read More......

Kamis, 19 Januari 2012

Hikmah / KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...
 Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.”  
Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”

Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.” 

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.” 

Makna Berkah
Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun. 
Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. 

Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini. 

Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya. 
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?” 

Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.  
Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’ 

Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan per
Read More......

Senin, 16 Januari 2012

Feminimisme, dalam perspektif awam

Feminisme, adalah suatu faham yg merupakan bagian dari Liberalisme yg berpangkal dari Humanisme (pemikiran yg berorientasi kpd manusia sebagai pusat semesta) yang darinya pula terlahir faham atheis, facis, sosialis, komunis, kapitalis dan faham lain yg meminggirkan pemikiran berlandaskan religi(tuhan sebagai pusat semesta) bahkan menafikan keberadaan tuhan. Seperti pada pemikiran/pendapat manusia umumnya yang cenderung subjektif, feminisme seringkali menghasilkan sesuatu yang kontra produktif karena sering terjadi kontradiksi atas apa yg menjadi tujuan dengan realitas yang ada. Sebagai contoh, feminisme mendorong para wanita untuk belajar dan menjadi pintar, untuk kemudian keluar dan berkarya meniti karir, jika karena kesibukan karir, tugas mengurus rumah, pengawasan dan pendidikan anak diserahkan pada Pembantu Rumah Tangga yang biasanya wanita. Lantas untuk kepentingan kesejahteraan pekerja PRT kaum feminis mendorong terciptanya Undang2 tentang PRT. Selesaikah? Tentu tidak, dalam hal ini ada yg terlupakan, bagaimana dengan nasib rumah tangga sang PRT? Pengawasan dan pendidikan anak2nya? Apa mungkin PRT tsbt mempekerjakan PRT yg lain? Ini sesuatu yang tdk mungkin jika tdk disebut mustahil, karena(biasanya) seorang wanita menjadi PRT terpaksa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang sulit, jd bagaimana dia membayar PRT yg bekerja padanya. Jika begitu, akan timbul pertanyaan lain, haruskah suaminya yg menggantikannya untuk mengerjakan tugas kerumah tanggaan? Jika benar harapan akhir dari feminisme seperti ini, bisa dikatakan gerakan feminisme bertujuan untuk membalas dominasi pria selama ini, dan akan berlanjut aksi balasan berikutnya dari kaum pria yg, mungkin saja, memunculkan gerakan 'maskulinisme'. Dan hal ini sudah menjadi kenyataan terjadi dinegeri kita terlebih dinegara2 barat dimana faham ini dimunculkan. Banyak pria maupun wanita dinegara barat memilih untuk melajang karena tdk menginginkan hal spt ini terjadi dlm perkawinannya. Hal lain yang sering disuarakan penggiat feminisme, mengatakan ingin memuliakan perempuan. Mereka berusaha menghapus aturan2 yang dianggap membelenggu kebebasan, kreatifitas, hak-hak pribadi, keinginan dll, dan kemudiaan membuat aturan baru yang membuka akses lebih besar untuk 'berekspresi', menyalurkan hasrat dan keinginan yg sebelumnya menjadi tabu bagi mereka, sehingga norma agama dan budayapun dinafikan. Dengan kesadarannya mereka merendahkan kehormatan mereka sendiri atas nama 'kebebasan ekspresi' dan karir. Apakah itu baik? Berikut ini kutipan seorang sosiolog barat tentang hal ini, 'Perempuan adalah sebuah wacana yang tidak pernah selesai diperbincangkan, dimana pun dan kapan pun. Pengusaha dan politisi kapitalis memandangnya sebagai aset, apalagi tubuh dan penampilannya. Bagi mereka, tubuh perempuan adalah komoditi yang menghasilkan modal dan menumpuk pundi- pundi. Ia menjadi wacana untuk bersenang-senang, dinikmati, dipertontonkan, bahkan diperjual belikan layaknya barang dagangan. Nilai tukarnya bergantung pada standar pasar. Dan perempuan pun harus merelakan tubuhnya dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya, yaitu pemilik modal'. (lihat Klethus Badhick, Wacana Tubuh Perempuan, hal. 14-15). Wassalam, Tim Mode IsDi
Read More......

Rabu, 04 Januari 2012

Diponegoro: Pangeran Santri Penegak Syariat Bag. II

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden.
Total orang jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh. Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jurbahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia. (***) Penulis: Ir. Arif Wibowo (Mahasiswa Magister Pemikiran Islam- Universitas Muhammadiyah Surakarta) Sumber : www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=119:diponegoro-pangeran-santri-penegak-syariat&catid=16:sosok&Itemid=14 Read More......

Diponegoro: Pangeran Santri Penegak Syariat Bag. I

“Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan” (Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830) Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan,
Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89. Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung. Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29). Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40). Perang besar Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19,. Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menurut Steenbrink meyepakati bahwa perang Dipnegoro lebih bersifat perang anti kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3. Kekurang adilan di masyarakat Jawa 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja tetapi juga untuk kepentingan Belanda. Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.” Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)). Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut. Bersambung Ke bag. II Read More......

Jumat, 23 Desember 2011

Ilmu Hadits / Takhrij dan ulasan khabar: “Sesiapa yang kenal dirinya, maka dia kenal Tuhannya” bag II

Secara kesimpulan, para ulama hadis mengatakan bahawa ianya bukan hadis Nabi SAW. Maka, ia adalah sama ada kata-kata Sayyiduna ‘Ali bin Abi Talib RA, Yahya bin Mu‘az al-Razi, Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari, ataupun Abu Sa‘id Ahmad bin ‘Isa al-Kharraz. Meskipun ramai ulama hadis yang menyatakan bahawa ia adalah kata-kata Yahya bin Mu‘az al-Razi. Namun, kata-kata yang penulis temukan sanadnya ialah kata-kata Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari sahaja. Manakala bakinya, belum dapat dipastikan sumbernya yang asal. Mohon diberikan petunjuk...


ii. Maksudnya

Oleh kerana kata-kata ini mengandungi makna yang sahih, maka ianya telah menjadi popular di kalangan ulama tarbiah dan suluk. Allah SWT telah berfirman:

{وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُونَ} [الذاريات:21]
Terjemahan: “Dan pada diri kamu sekalian, tidakkah kamu perhatikan?”
 Menurut Imam al-Suyuti dalam (القول الأشبه في حديث من عرف نفسه فقد عرف ربه): “Kata al-Nawawi di dalam Fatawanya: Maknanya; sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat daif, berhajat kepada Allah dan pengabdian kepada-Nya, dia akan kenal Tuhannya dengan sifat kuat, ketuhanan, kesempurnaan yang mutlak dan sifat-sifat yang tinggi. Kata Syeikh Tajuddin Ibn ‘Ata’illah dalam Lata’if al-Minan: Aku mendengar guru kami Abu al-‘Abbas al-Mursi berkata: Pada hadis ini terdapat dua takwilan; Pertamanya, iaitu sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat hina, lemah dan fakir, dia akan kenal Allah dengan sifat megah, berkuasa dan kaya. Maka, yang awalnya mengenal diri, kemudian sesudahnya mengenal Allah pula. Keduanya, sesiapa yang mengenal dirinya, maka ia menunjukkan bahawa dia telah mengenal Allah sebelumnya. Maka, yang pertama adalah hal golongan salik (pejalan rohani), dan yang kedua pula adalah hal
 golonganmajzub (penerima tarikan rohani)”.

Menurut al-Hafiz al-Sakhawi dalam (المقاصد الحسنة في بيان كثير من الأحاديث المشتهرة على الألسنة) no. 1149: “Dikatakan tentang takwilnya; Sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat baharu, dia akan kenal Tuhannya dengan sifat qidam. Dan sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat fana’, dia akan kenal Tuhannya dengan sifat baqa’”.

Kata al-‘Allamah al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1014H) dalam (الأسرار المرفوعة في الأخبار الموضوعة) no. 506: “Maknanya adalah sabit.  Ada  dikatakan, sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat jahil, maka dia akan kenal Tuhannya dengan sifat ilmu. Dan sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat fana’, maka dia akan kenal Tuhannya dengan sifat baqa’. Dan sesiapa yang kenal dirinya dengan sifat lemah dan daif, maka dia akan kenal Tuhannya dengan sifat kudrat dan kuat. Ini diambil daripada firman Allah Taala:

{ ومَن يرغب عن ملّة إبراهيم إلاّ مَن سفه نفسه }
Terjemahan: “Tidak ada orang yang membenci agama Nabi Ibrahim selain dari orang yang membodohkan dirinya sendiri” (al-Baqarah: 130), yakni tidak mengenal dirinya, di mana dia juga tidak mengenal Tuhannya”.
 Wallahu a‘lam. -original message- Subject: [INSISTS] Takhrij dan ulasan khabar: “Sesiapa yang kenal dirinya, maka dia kenal Tuhannya” From: Nugroho Laison Date: 23/12/2011 8:48 am
http://sawanih.blogspot.com/2011/12/takhrij-dan-ulasan-khabar-sesiapa-yang.html Read More......

Ilmu Hadits / Takhrij dan ulasan khabar: “Sesiapa yang kenal dirinya, maka dia kenal Tuhannya”

Editor: Blog al-Faqir Ila Rabbih Ta'ala - Date: 19.12.11  

Teks khabar:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Perbincangan khabar ini akan disentuh dari dua sudut; Pertama, tentang kedudukan asalnya. Kedua, tentang maksudnya.

i. Kedudukan Asalnya Dalam berbagai sumber, kata-kata ini telah disandarkan kepada:

1- Baginda Nabi SAW. Banyak kitab-kitab tasawuf yang menyandarkan kata-kata ini kepada baginda SAW. Antaranya Imam al-Ghazali (w. 505H) dalam kitab (كيمياء السعادة). Al-Syeikh al-Akbar Ibn ‘Arabi menyatakan bahawa ianya sahih dari baginda SAW secara kasyaf.


2- Sayyiduna ‘Ali bin Abi Talib RA. Ini disebut oleh Abu Bakr Rasyid al-Din Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd al-Jalil al-‘Umari yang masyhur dengan panggilan al-Watwat (w. 573@ 578H) dalam kitabnya (مطلوب كل طالب من كلام علي بن أبي طالب). Kitab ini masih berbentuk manuskrip, seperti yang dinukilkan dalam kitab (سيرة أمير المؤمنين علي بن أبي طالب - رضي الله عنه) oleh ‘Ali Muhammad Muhammad al-Salabi (2005).

3- Yahya bin Mu‘az al-Razi (w. 258H). Ramai ulama hadis seperti al-Hafiz al-Sam‘ani, al-Hafiz al-Sakhawi, al-Hafiz al-Suyuti, al-‘Allamah al-Haytami dan lain-lain yang menyebut bahawa kata-kata ini adalah masyhur dari beliau.

4- Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari (w. 283H). Al-Hafiz Abu Nu‘aim al-Asbahani (w. 430H) meriwayatkan dalam kitabnya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء) dengan sanadnya:
سمعت محمد بن الحسين بن موسى يقول: سمعت أبا بكر محمد بن عبدالله ابن شاذان يقول: سمعت بن سالم يقول: وسئل سهل بن عبدالله عن قوله: من عرف نفسه فقد عرف ربه، قال:من عرف نفسه لربه عرف ربه لنفسه. * Zahirnya, imbuhan ‘nya’ pada lafaz (عن قوله) merujuk kepada diri beliau, bukan kepada baginda Nabi SAW.

5- Abu Sa‘id Ahmad bin ‘Isa al-Kharraz (w. 279@ 286H). Ini disebut oleh setengah ulama, seperti yang dinukilkan dalam kitab (أسنى المطالب في أحاديث مختلفة المراتب) oleh Syeikh Muhammad bin Darwisy al-Hut (no. 1435). Namun, lafaznya seperti yang diriwayatkan oleh Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami dengan sanadnya dalam Tabaqat al-Sufiyyah ialah:
ومن لم يعرف ما فى نفسه، كيف يعرفُ رَبَّه؟
Terjemahan: “Dan sesiapa yang tidak kenal apa yang ada pada dirinya, bagaimana pula dia dapat kenal Tuhannya?”

Kata Imam al-Zarkasyi (w. 794H) dalam (التذكرة في الأحاديث المشتهرة): “Menurut al-Nawawi: Tidak sabit. Kata Imam Abu al-Muzaffar Ibn al-Sam‘ani dalam (القواطع في الكلام على التحسين والتقبيح العقلي): Ini tidak sabit dari Nabi SAW, akan tetapi ia adalah suatu lafaz yang dihikayatkan dari Yahya bin Mu‘az al-Razi”.

Demikian juga pandangan al-Hafiz al-Sakhawi dalam (المقاصد الحسنة في بيان كثير من الأحاديث المشتهرة على الألسنة) no. 1149, dan al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haytami dalam (الفتاوى الحديثية).
 Menurut Imam al-Suyuti (w. 911H) dalam (القول الأشبه في حديث من عرف نفسه فقد عرف ربه): “Hadis ini tidak sahih. Al-Nawawi pernah ditanya mengenainya di dalam kitab Fatawanya, maka jawab beliau: Ianya tidak sabit. Kata Ibn Taymiyyah: Mawdu‘. Menurut al-Zarkasyi dalam (التذكرة في الأحاديث المشتهرة): Ibn al-Sam‘ani menyebut bahawa ia adalah daripada kata-kata Yahya bin Mu‘az al-Razi”.

Syeikh Isma‘il bin Muhammad al-‘Ajluni (w. 1162H) di dalam (كشف الخفاء ومزيل الالباس عما اشتهر من الاحاديث على ألسنة الناس) no. 2532 menambah: “Kata Ibn al-Ghars (w. ?) selepas menukilkan dari al-Nawawi bahawa ianya tidak sabit, katanya: Tetapi kitab-kitab sufi dipenuhi dengannya. Mereka membawakannya dalam nada hadis, seperti Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Katanya lagi: Guru kami Syeikh Hijjazi al-Wa‘iz (w. 1035H), pensyarah al-Jami‘ al-Saghir oleh al-Suyuti, menyebutkan kepada kami bahawa Syeikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi itu tergolong dari kalangan para huffaz. Setengah ulama menyebut bahawa Syeikh Muhyiddin berkata: Hadis ini meskipun tidak sahih melalui jalan riwayat, namun ia sahih di sisi kami melalui jalan kasyaf. Al-Hafiz al-Suyuti mempunyai sebuah karya kecil mengenainya yang dinamakan (القول الأشبه في حديث من عرف نفسه فقد عرف ربه).
 Kata al-Najm [al-‘Allamah Najmuddin al-Ghazzi dalam kitab: إتقان ما يحسن من الأخبار الدائرة على الألسن]: Terdapat dalam kitab Adab al-Din wa al-Dunya oleh al-Mawardi (w. 450H); Dari ‘A’isyah bahawa Nabi SAW pernah ditanya: Siapakah orang yang paling kenal dengan Tuhannya? Jawab baginda: Orang yang paling kenal dengan dirinya”.

Bagaimanapun, hadis ‘A’isyah RA yang disebut oleh Imam al-Mawardi itu juga belum ditemukan sumber asalnya.

Syeikh Ahmad ibn ‘Ajibah al-Hasani (w. 1224H) telah memberikan ulasan yang cukup baik di dalam kitabnya (الفتوحات الإلهية في شرح المباحث الأصلية): “Peringatan: Telah masyhur di lidah ramai ahli sufi bahawa (من عرف نفسه عرف ربه) adalah hadis. Sedangkan ia bukan begitu. Akan tetapi ia adalah daripada kata-kata Yahya bin Mu‘az al-Razi, berdasarkan apa yang dinaskan oleh al-Hafiz Badr al-Din al-Zarkasyi dan al-Hafiz al-Suyuti dalam (الدرر المنتثرة في الأحاديث المشتهرة), katanya: Hadis (من عرف نفسه عرف ربه), menurut al-Nawawi: Tidak sabit. Dan kata al-Sam‘ani: Ia adalah daripada kata-kata Yahya bin Mu‘az al-Razi. Dan setiap seni ilmu itu wajar dirujukkan kepada pakar-pakarnya. Manakala ahli sufi pula, semoga Allah meredhai mereka, kerana sifat sangka baik mereka, sering bersifat longgar terhadap hadis-hadis. Demikianlah sepertimana yang disebut oleh
 Syeikh Sayyidi Muslim di dalam kitab beliau”.
 * bersambung ke bag II Read More......

Senin, 19 Desember 2011

Khabar / Liberalisme Bahaya Laten - laporan dari Trawas, Insists Network Annual Gathering 2011

*Senin, 19 Desember 2011*
*Liberalisme Bahaya Laten * *Mohammad Akbar

Resistensi umat Islam sudah sangat tinggi.*
TRAWAS — Paham liberal agama, yang mengotori pemikiran Islam dinilai sebagai bahaya laten yang sangat membahayakan umat. Paham ini terus
merangsek akidah umat dan menjamur hingga ke tingkat perguruan tinggi.

“Strategi paham liberal ini adalah mendekonstruksi konsep Islam yang sudah
mapan untuk disejajarkan dengan (konsep pemikiran) Barat,” kata Direktur
Institute for the Study of Islamic Thought and Ci vilizations (Insists), Dr
Hamid Fahmy Zarkasyi, pada pertemuan tahunan Insists Network di Trawas,
Mojokerto, Jawa Timur, Ahad (18/12).


Dalam penilaian Hamid, paham liberal dikategorikan sebagai bahaya laten karena pemikiran semacam ini selalu ada di setiap tempat dan zaman.
“Tetapi, hal ini tidak pernah disadari orang,” ujarnya.

Dalam salah satu artikelnya, Hamid juga menjelaskan bahwa dalam liberalisme
pemi kiran keagamaan ini masalah yang pertama dipersoalkan adalah konsep
Tuhan (teologi), kemudian doktrin atau dogma agama. Setelah itu, paham ini
mempersoalkan dan memisahkan hubungan agama dan politik (sekularisme).

“Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi berarti sekularisme dan
dipicu oleh gelombang pemi kiran posmodernisme yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality), dan relativisme. Paham ini yang sekarang
dihadapi oleh masya rakat awam dan masyarakat akademik,” tutur Hamid.

Tantangan terbesar justru liberalisme dan sekularisme di sejumlah perguruan
tinggi Islam. “Lang kah yang dilakukan tak hanya sekadar afirmasi, tetapi
perlu usaha legasi, yakni kritik terhadap konsep yang telah ter campur dari
Barat,” kata Hamid.
 *Penguatan jaringan*
Pertemuan tahunan yang digelar di Trawas selama tiga hari, sejak Jumat (16/12) hingga Ahad (18/12), juga tujuan utamanya sebagai penguatan
internal dengan jaringan Insists di pelbagai daerah untuk me redam paham
liberalisme agama. Sebab, resistensi masya rakat terhadap paham liberal
sudah sangat tinggi.

Dasar penilaiannya itu merujuk pada semakin banyaknya mahasiswa yang secara
tegas berbeda pandangan dengan dosen yang menyebarkan paham liberal. Selain
itu, sejak 2004 lebih dari 500 workshop yang dilakukan Insists di pelbagai
kampus dan ormas Islam di seluruh Indonesia.
 Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Persatuan Islam (Persis), Tiar Anwar
Bachtiar, menyatakan perkembangan paham pluralisme dan liberalisme sudah
sangat mengkha watirkan. Persis ikut menjadi target.

Di Persis kondisinya juga begitu dan patut diwaspadai. Memang dibandingkan
ormas lainnya, arus liberal ini tidak masuk secara intensif di kami, kata
Tiar. ed: asep nur zaman

From: satriyo Date: 19/12/2011 11:31 am Disadur oleh Tim Moderator Is-Di dari milis INSISTSNET@YAHOOGROUPS.COM, diposting juga di blog Is-Di http://Islam-Dialog.blogspot.com Terbit di e-buletin Is-Di untuk anggota milis Islam-Dialog@googlegroups.com *Untuk berlangganan kiriman e-buletin ini, kirim email ke ISLAM.DIALOG@YAHOO.COM isi subyek "DAFTAR/SUBSCRIBE/LANGGAN" http://koran.republika.co.id/koran/14/150282/Liberalisme_Bahaya_Laten
 http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2011/12/19/ArticleHtmls/Liberalisme-Bahaya-Laten-19122011012018.shtml?Mode=1

Read More......

Khazanah / Kisah Sahabat Nabi: Ja’far bin Abu Thalib, Si Burung Surga

Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat mendakwahkan Islam di daerah itu. Dalam Perang Muktah, ia diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya. Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.
Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib, saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip dengan Nabi SAW di antara mereka berlima. Ja’far dan istrinya, Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam. Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa. Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan. Ja'far pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah. Ja’far bin Abu Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun. Pada tahun ke-7 Hijriyah, kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja’far?" Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin). Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak- keraknya." Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan. Rasulullah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka." Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara. Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah- tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu. Rasulullah SAW sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih. Asma’ bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.” Asma' kemudian memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?" Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini." Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah- olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berdoa sambil menyeka air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah, gantilah Ja’far bagi istrinya." Kemudian beliau bersabda, "Aku melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya." Red: cr01 Disadur oleh Tim Is-Di Dari m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/08/02/lpb0jd-kisah-sahabat-nabi-jafar-bin-abu-thalib-si-burung-surga Read More......

Rabu, 07 Desember 2011

Beliau bukanlah seorang ulama, tapi peran dan kontribusinya mendedikasikan hidupnya terhadap Dien al-Islam tidaklah kecil, paling tidak rasa takut yang beliau tanam dihati musuh-musuh agama yang haq ini, Amerika Serikat, yang dengan tegas menjadikan Negri-negri Muslim musuh baginya dan sekutu-sekutunya.
Allahu Akbar......

Banyak diantara kita, kaum Muslimin, mengecam perjuangan yang dilakukan segelintir Muslim lain yang menggunakan cara Bom Jihad !

BOM JIHAD Bukan BOM BUNUH DIRI !!



Terlepas dari hukum fiqih Islam tentang bom jihad ini, apakah halal(boleh) atau haram(dilarang/dosa) *lihat Rujukan*, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, saya (penulis) tergerak menulis artikel ini setelah menyaksikan tayangan di televisi National Geographic Chanel dengan program tayang CIA CLASSIFIED, untuk mengajak saudara-saudara seiman agar dapat membedakan aksi Bom Jihad dan Bom Bunuh diri. Yang Boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
Dalam tayangan tersebut memperlihatkan bagaimana Amerika, dalam ketakutannya, dalam memerangi negeri-negeri Muslim dengan kampanye Perang Global melawan Teroris (who's the real Terorist?), khususnya Afganistan dengan menggelar operasi rahasia serangan Drone Attack, 1 rudal untuk 1 orang target yang diluncurkan dari pesawat siluman tanpa awak yang terbukti memakan korban jiwa dari pihak sipil yang tidak sedikit, namun tidak diakui oleh CIA, badan intelijen Amerika yang melaksanakan operasi ini, hingga dunia menyaksikan kebenaran akan kekejaman dari operasi rahasia CIA ini. Tersebutlah satu nama, Humam Khalil Abu-Mulal al-Balawi atau dikenal Al-Balawi, yang berhasil membuat tentara dan agen intelijen CIA yang berada di Afganistan berada dalam ketakutan.

Al-balawi, seorang dokter, pemuda kelahiran Kuwait pada Desember 1977, hijrah bersama keluarga saat invasi Iraq ke Kuwait dan menetap di Jordan. Beliau menyelesaikan studinya di Turki dan mendapat gelar dokter di Universitas Istambul setelah 6 tahun masa kuliah. juga mendapatkan pelatihan medis dAri Universitas Jordan, rumah sakit Islam yang dikelola Persaudaraan Islam di Jordan. Menikah dengan seorang gadis Turki, Dafinah Bairak, seorang jurnalis dan penerjemah. Bersamanya Al-Balawi dikarunia oleh Allah 2 anak, mereka tinggal di Amman dengan penghasilan yang kecil.
Al-Balawi dikenal sebagai kontributor Al-Hesbah, satu situs internet yang konsisten menyaurakan Jihad, dan diapun memiliki blog jihad yang dikelolanya sendiri. Karena kegiatannya tersebut, Al-Balawi ditangkap petugas keamanan Jordan, lebih dari setahun Sebelum serangannya ke Kamp Champman, pusat operasi CIA di Khost Pakistan.
Petinggi CIA dan Dinas Intelejen Jordan percaya Al-Balawi dapat dirubah dari seorang aktivis jihad menjadi agen intelejen yang loyal kepada CIA(Amerika) dan pemerintah Jordan setelah Dinas Intelejen Jordan berhasil membujuk dan merekrutnya. Dinas Intelejen Jordan adalah sekutu terdekat CIA di Timur Tengah dalam perang yang mereka sebut sbagai Perang melawan Teroris. Setelah beberapa kali informasi dari Al-balawi dianggap telah turut membantu CIA berhasil membunuh beberapa tokoh jihad, diantaranya Imad Mughniyah tokoh senior milisi Hisbullah di Libanon, Abu Musab Al-Zarqowi di Iraq, Al-Balawi mendapat kepercayaan penuh CIA dan Intelejen Jordan.
Hingga satu ketika FOB (Forward Operation Base) Chapman atau kamp Chapman mengundang Al-Balawi ke markas setelah pengakuannya memiliki informasi tentang keberadaan Ayman A-Zawahiri, pemimpin senior Thaliban Afganistan. Tidak kecurigaan dari CIA jika sebenarnya Al-Balawi seorang agen ganda, seperti pengakuan Dafina (isteri Al-Balawi) bahwa suaminya tidak pernah benar-benar bekerja untuk CIA dan pemerintah Jordan sebaliknya dia mendekati CIA untuk melakukan penyusupan ke markas CIA tersebut. Dan, BOOOOOOM...... Al-Balawi meledakkan bom yang telah dipasangkan ke badannya setelah masuk markas dan berada didekat kepala agen CIA di kamp Chapman, ledakan itu membunuh 7 agen CIA, 1 agen Intelejen Jordan, sopir yang menjemputnya dan 6 orang lainnya terluka.
Subhanallah, yang telah menanamkan keberanian di hati seorang Al-Balawi, Innalillah wa inna ilaihi rooji'un...... Syahidnya Al-Balawi tidak sia-sia, karena aksi ISYTISHADnya itu kejahatan perang Amerika terbongkar, walau serangan itu tidak membuat Amerika hengkang dari bumi Muslimin tapi cukup menebar ketakutan (irhab) dihati para pemimpin Raja Teror Dunia, Amerika, dan mereka dipaksa mengubah setrategi baru dalam perang ini.
Allahu Akbar.....
Allahu Akbar ....
Allahu Akbar ....

Dalam video yang berisi testimoninya yang muncul setelah serangan tersebut bahwa yang dilakukannya itu sebagai balasan atas serangan Amerika ke negeri-negeri Muslim dan balasan atas meninggalnya pemimpin senior Thaliban Pakistan, Baitullah Mehsud, akibat serangan Drone Amerika.
Diketahui pula dari isteri Al-Balawi, Dafina Bairak, bahwa suaminya tersebut memiliki keinginan masuk ke daerah konflik (Afganistan), karena merasa malu belum bisa melakukan apa yang menjadi subyek tulisan-tulisanya, jihad yang sesungguhnya.
Dan Dafina Bairak mengaku sangat bangga suaminya meninggal sebagai Syuhada.
Allahummagfir Al-Balawi.......
Wallahu a'lam

Penulis : Is Di



Rujukan:
http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=148

Http://situswahab.wordpress.com/2011/04/17/hukum-bom-bunuh-diri-menurut-islam/

Http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/11/27978/Syariah/Hukum_Bom_Bunuh_Diri.html

Sumber :
Http://en.m.wikipedia.org/wiki/Humam_Khalil_Abu-Mulal_al-Balawi

Http://en.m.wikipedia.org/wiki/Camp_Chapman_attack

National Geographic Chanel : CIA Classified : Drone Attack Read More......

Selasa, 29 November 2011

Worldview Koruptor

Worldview Koruptor WEDNESDAY, 16
NOVEMBER 2011

WRITTEN BY HAMID
FAHMY ZARKASYI

Beberapa bulan lalu
sebuah dialog di televisi
swasta membahas
perilaku korupsi
penegak hukum dan
koruptor. Hadir dalam acara itu para guru
besar dibidang hukum
dan advokat. Yang
muncul disitu
pertanyaan mengapa
hakim dan jaksa korupsi? Padahal
mereka adalah penegak
hukum dan sangat luas
ilmu hukumnya. Mereka
adalah pejabat yang
tinggi tanggung jawabnya. Host acara itu lalu
mengarahkan
pertanyaan itu kepada
para guru besar: Apa
yang Bapak ajarkan
pada mereka sehingga mereka itu korupsi?
Para guru besar itupun
bersungut-sungut lalu
menjawab “tidak ada
yang salah dalam mata
kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya?
Mengapa demikian
dst..dst. menjadi
kompleks. Mungkin jika pakar
bidang administrasi
Negara hadir dia akan
menuding undang-
undang yang lemah.
Pakar ekonomi akan mengkritik gaji
pegawai yang rendah.
Advokat akan berkilah
korupsi atau tidak itu
tergantung pasalnya.
Para sosiolog atau psikolog akan mungkin
lebih tegas “orang
korupsi karena mental
pegawai”. Dibalik layar
sayup-sayup para
koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”.
Itulah realitas bangsa
ini. Pendapat-pendapat
diatas tentu subyekif.
Namun semua pasti
sepakat jika perbuatan
korupsi didahului oleh
pikiran yang korup. Orang pasti berfikir
sebelum berbuat.
Pikiran manusia itulah
sebenarnya yang
disebut worldview.
Definisinya adalah cara pandang orang
terhadap hidup dan
kehidupan. Pandangan
orang terhadap makna
realitas dan makna
kebenaran (Naquib al- Attas). Pikiran yang
menjadi motor
perbuatan (Alparslan). Dari perspektif agama
worldview adalah
kepercayaan pada
Tuhan beserta segala
implikasi dan
konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab
seperti ditegaskan
Thomas Wall:
“kepercayaan pada
Tuhan adalah inti dari
semua worldview”. Artinya kalau orang itu
benar-benar percaya
pada Tuhan dibalik
harta ada rezeki, dibalik
kekuasaan ada amanah,
dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau
orang percaya pada
Tuhan, ia pasti yakin
bahwa baik-buruk,
salah-benar, harta-
rezeki berasal dari Tuhan. Itulah
worldview. Jika orang itu tidak
percaya pada Tuhan,
harta adalah harta. Di
balik harta tidak ada
apa-apa. Dari mana
asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak
penting. Yang penting
setiap orang harus
bertahan hidup. Hidup
dengan segala cara asal
tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan
setelah itu selesai.
Perbuatan di dunia
hanya akan berakibat di
dunia. Ukuran baik-
buruk, salah-benar adalah manusia
penentunya. Itulah
worldview koruptor. Tapi masalahnya
mengapa orang
beragama masih juga
korupsi? Jawaban
lumrah tentu ia korup
bukan karena perintah agamanya. Menurut
sabda Nabi tidak ada
orang mencuri dan pada
saat yang sama dia
beriman (al-Hadith).
Lalu apakah keimanan orang tidak dapat
mencegahnya dari
perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh
kompleks. Agama hanya
dianggap sebagai dogma. Beragama
berarti menjalankan
ritual semata. Masjid,
gereja dsb adalah
tempatnya. Di ruang
publik agama tidak boleh angkat bicara.
Porno atau tidak porno
t idak boleh diukur dari
agama. Ambisi
berpolitik tidak boleh
dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi
dicampur istighatsah. Disaat agama
dikerdilkan, dan ketika
keberagamaan
dimarginalkan hasrat
menjadi kaya raya
merupakan tujuannya. Worldview pemeluk
agama diisi oleh cara
pandang materialistis,
hedonistis, pragmatis,
empirisistis, dan
rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok
arah hidup pemeluk
agama-agama. Cinta
harta merasuki rongga-
rongga pikiran para
pemeluk agama. Begitulah worldview
pemeluk agama
dikuasai worldview
sekuler. Akibatnya mind-set
mereka berubah. Agar
menjadi kaya dan hidup
enak di dunia orang
harus meninggalkan
moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap
bertahan pada
keimanan agamanya
dianggap bodoh dan
tidak cerdas. Ketika saya berkunjung
kembali ke Inggeris,
Maret 2010, di
Nottingham saya
mendengar berita
menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster
University, Irlandia
Utara, Professor
Helmuth Nyborg dari
Universitas Aarhus,
Denmark dan Professor John Harvey Sussex,
Inggeris, menerbitkan
hasil riset mereka. Riset
itu dilakukan di 137
negara di dunia,
termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya
mengkaji sebuah
hypothesis adanya
korelasi negatif antara
IQ dan Iman.
Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh
seseorang itu ia
semakin religius
dan semakin cerdas
seseorang orang itu ia semakin sekuler dan
bahkan atheist. Bukan hanya itu
Verhage (1964) dan Bell
(2002) di Belanda,
Kanazawa (2009) di
Amerika Serikat
memperoleh hasil serupa. Dari mereka
bertiga ini sekurangnya
diperoleh empat
temuan. Pertama ada
hubungan korelasi
negative antara kecerdasan dan
keimanan. Kedua, orang
elit yang cerdas
semakin kurang religius
dibanding penduduk
secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar
semakin berumur dan
semakin berilmu
semakin turun
keimanan mereka.
Keempat, sepanjang abad dua puluh
meningkatnya
masyarakat yang cerdas
diikuti oleh
menurunnya keimanan.
Implikasi dari hypothesis diatas jelas,
orang cerdas adalah
yang meninggalkan
agamanya. Tapi
masalahnya apakah
orang tidak beragama itu karena saking
cerdasnya? Jika
jawabnya iya, maka
matrik kecerdasannya
itu hanya sebatas
masalah dunia. Apakah orang yang taat
beragama dan pada
saat yang sama bisa
hidup makmur di dunia
tidak bisa dianggap
lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja. Dr.David Rosmarin,
psikiatri Rumah Sakit
McLean di
Massachussetts menulis
paper. Disitu
disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan
cenderung lebih tenang
dan tidak gelisah
menghadapi hidup yang
serba tidak pasti. (Lihat
International Herald Tribune, 19 Oktober
2011, hal.8). Tentu
dibanding orang yang
tidak percaya Tuhan.
Jika demikian maka
benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu)
adalah orang yang
bekerja di dunia untuk
tujuan akherat”. Wallau
A’lam

Sumber, http://insistnet.com
Disadur oleh : Islam-Dialog Read More......