Kerangka Pemikiran
Aswaja memiliki pendirian yang jelas tentang
kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak
menolak akal dan tidak juga mengagungkannya
lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu
dan akal menjadikan peradaban Islam yang
terbangun mampu berkembang pesat di
Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika,
Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan
banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-
ulama yang mumpuni. Prinsip ini adalah
pemaduan antara teks dan konteks, antara
wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga
tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi,
insani dan ilahi, sains dan agama. Segala
sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang
benar dan wajar.
Aswaja juga memadukan antara kekuatan
rohani, aqli dan jasadi (material).Teks-teks
aqidah juga membahas persoalan karamah para
wali, kedudukan mereka di sisi Allah,
kemungkinan para ulama yang benar
mendapatkan ilham dan diberikan ilmu yang
tidak diberikan kepada orang biasa meskipun
mereka tidak ma’sum. Juga dijelaskan
kedudukan mereka yang istimewa sebagai
pewaris para nabi.
Ulama Aswaja juga tidak memisahkan antara
agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka
melihat persoalan politik dan pemerintahan
tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika
agama tidak diberikan perhatian dalam
membangun kepribadian Muslim. Aswaja
menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan
al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap
ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani.
Ketika para ulama Aswaja mempunyai pendirian
yang tegas terhadap golongan sesat -- karena
jelas kesesatannya -- pada saat yang sama,
mereka mengambil pendekatan yang tasamuh
(berlapang dada) terhadap perbedaan-
perbedaan di dalam kalangan Sunni itu sendiri.
Aswaja membedakan persoalan-persoalan
tsawabit (yang tetap) dengan persoalan
mutaghayyirat (yang berubah), yang muhkamat
(jelas) dan mutasyabihat (tidak jelas).
Dalam perkara yang tsawabit, karena teksnya
jelas (qath’i) dan tidak mengundang khilaf
antara ulama, mereka harus bersepakat dan
tidak boleh berbeda pendapat dari segi
prinsipnya. Namun dalam perkara yang
mutaghayyirat, yang memerlukan penafsiran,
para ulama bergantung dengan kemampuan
dan kefahaman masing-masing. Mereka boleh
berbeda dan tidak sewajarnya memaksakan
pendapat terhadap orang lain, khususnya jika
pandangan orang lain itu memiliki dasar yang
juga kuat untuk berbeda pendapat.
Disinilah perbedaan ( ikhtilaf ) menjadi rahmat,
dan ijtihad masing-masing ulama mendapat
pahala yang baik di sisi Allah, asalkan dilakukan
dengan penuh tanggungjawab dan amanah
ilmiah. Pandangan mereka harus diterima dan
ditolak mengikut kekuatan hujah masing-
masing. Keterbukaan ini sewajarnya dapat
menghindarkan umat Islam dari perangkap
fanatisme, ta’assub dan berfikiran sempit
sehingga cenderung mudah menyesatkan
saudaranya seiman.
Ketika umat Islam gagal memahami dengan baik
Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan
kebingungan dalam menghadapi tantangan
modern dan postmodern. Sepanjang sejarah,
prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan
gagasan-gagasan besar (great powerful ideas)
dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali,
Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat
sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks
Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi
(filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik,
filsafat sejarah yang unik dan terbaik,
sebagaimana peran yang dimainkan di masa
lalu.
Memahami sejarah dan pemikiran Islam klasik
semacam ini sangat penting sebagaimodal untuk
menghadapi tantangan pemikiran saat ini.
Sarjana-sarjana besar, seperti Dr. Muhammad
Iqbal, sering mengingatkan agar umat Islam
melihat sejenak ke belakang untuk dapat maju
ke depan. Ada kaidah dan rumusan yang telah
diwariskan generasi awal (al-salaf al-shaleh)
yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi
tantangan masa kini dan masa depan. Sebab,
sejarah sebenarnya sering berulang dengan
aktor-aktor yang berbeda. Dan orang yang
cerdas adalah yang dapat mengambil pelajaran
dari masa lalu. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=304:prinsip-dan-ukhuwah-ahlus-sunnah-wal-jamaah&catid=21:sejarah&Itemid=19
Read More......
Selasa, 20 Maret 2012
Prinsip dan Ukhuwah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah bag. I
WRITTEN BY KHALIF MUAMMAR
Siapa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah? Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al- Firaq , menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal- Jama’ah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al- Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal- Jama’ah . Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al- Salaf al-Salih. Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al- Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al- Sanusiyyah dan sebagainya.
. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al- Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah. Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya. Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists ) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia ( al-la adriyyah ), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya ( al-‘indiyyah ), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah ). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme. Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi , juga
Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al- Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah. Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya. Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists ) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia ( al-la adriyyah ), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya ( al-‘indiyyah ), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah ). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme. Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi , juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al- hawass al- salimah ), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat . Menyimpang Para ulama Aswa
ja juga menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk. Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb. Prinsip ini memberikan pengajaran tentang bagaimana menyikapi ayat-ayat dan hadis, supaya tidak tergolong dalam orang-orang yang menolaknya (ta’til) dengan alasan tidak dapat diterima oleh akal rasional, atau golongan yang cenderung menerimanya secara harfiyyah tanpa pemahaman yang mendalam sehingga menyalahi apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya sendiri. Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al- Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al- Rasyidun tanpa prejudis. Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks). Mereka juga sepakat bahwa para imam yang empat (mazhab fiqh) adalah yang imam-imam yang mu’tabar (otoritatif). Perbedaan antara mereka adalah perbedaan khilafiyyah yang dibenarkan, dan ijtihad yang satu tidak membatalkan ijtihad yang lain. Hal yang sama harus digunakan dalam menyikapi perbedaan antara al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi dan tasawuf. Jika Ibn Taymiyyah berbeda dan mengkritik al-Ghazali, umat Islam tidak harus menganggapnya sebagai satu bentuk penyesatan, melainkan satu ijtihad yang boleh jadi benar boleh jadi salah (al-khata’ wa al- sawab), bukan persoalan al-haq (benar) dan al- batil (sesat). Jika ditelusuri dengan lebih lanjut golongan Salafiyyah umumnya berpegang kepada al-Aqidah al-Tahawiyyah dan golongan Asya’irah berpegang kepada A’qa’id al-Nasafi yang jika dibuat perbandingan jelas bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Kerana itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan mengundang fitnah yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini untuk mengelakkan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang dengan mudah menghalalkan darah orang Islam. Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al- I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).
>>>> bag Jika
Read More......
Kamis, 19 Januari 2012
Hikmah / KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...
KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...
Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.”
Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”
Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.”
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.”
Makna Berkah
Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun.
Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini.
Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya.
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”
Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.
Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’
Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan per
Read More......
Senin, 16 Januari 2012
Feminimisme, dalam perspektif awam
Feminisme, adalah suatu faham yg merupakan bagian dari Liberalisme yg berpangkal dari Humanisme (pemikiran yg berorientasi kpd manusia sebagai pusat semesta) yang darinya pula terlahir faham atheis, facis, sosialis, komunis, kapitalis dan faham lain yg meminggirkan pemikiran berlandaskan religi(tuhan sebagai pusat semesta) bahkan menafikan keberadaan tuhan.
Seperti pada pemikiran/pendapat manusia umumnya yang cenderung subjektif, feminisme seringkali menghasilkan sesuatu yang kontra produktif karena sering terjadi kontradiksi atas apa yg menjadi tujuan dengan realitas yang ada.
Sebagai contoh, feminisme mendorong para wanita untuk belajar dan menjadi pintar, untuk kemudian keluar dan berkarya meniti karir, jika karena kesibukan karir, tugas mengurus rumah, pengawasan dan pendidikan anak diserahkan pada Pembantu Rumah Tangga yang biasanya wanita. Lantas untuk kepentingan kesejahteraan pekerja PRT kaum feminis mendorong terciptanya Undang2 tentang PRT.
Selesaikah?
Tentu tidak, dalam hal ini ada yg terlupakan, bagaimana dengan nasib rumah tangga sang PRT? Pengawasan dan pendidikan anak2nya? Apa mungkin PRT tsbt mempekerjakan PRT yg lain? Ini sesuatu yang tdk mungkin jika tdk disebut mustahil, karena(biasanya) seorang wanita menjadi PRT terpaksa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang sulit, jd bagaimana dia membayar PRT yg bekerja padanya.
Jika begitu, akan timbul pertanyaan lain, haruskah suaminya yg menggantikannya untuk mengerjakan tugas kerumah tanggaan? Jika benar harapan akhir dari feminisme seperti ini, bisa dikatakan gerakan feminisme bertujuan untuk membalas dominasi pria selama ini, dan akan berlanjut aksi balasan berikutnya dari kaum pria yg, mungkin saja, memunculkan gerakan 'maskulinisme'.
Dan hal ini sudah menjadi kenyataan terjadi dinegeri kita terlebih dinegara2 barat dimana faham ini dimunculkan. Banyak pria maupun wanita dinegara barat memilih untuk melajang karena tdk menginginkan hal spt ini terjadi dlm perkawinannya.
Hal lain yang sering disuarakan penggiat feminisme, mengatakan ingin memuliakan perempuan. Mereka berusaha menghapus aturan2 yang dianggap membelenggu kebebasan, kreatifitas, hak-hak pribadi, keinginan dll, dan kemudiaan membuat aturan baru yang membuka akses lebih besar untuk 'berekspresi', menyalurkan hasrat dan keinginan yg sebelumnya menjadi tabu bagi mereka, sehingga norma agama dan budayapun dinafikan. Dengan kesadarannya mereka merendahkan kehormatan mereka sendiri atas nama 'kebebasan ekspresi' dan karir.
Apakah itu baik?
Berikut ini kutipan seorang sosiolog barat tentang hal ini,
'Perempuan adalah
sebuah wacana yang
tidak pernah selesai
diperbincangkan,
dimana pun dan kapan
pun. Pengusaha dan politisi kapitalis
memandangnya
sebagai aset, apalagi
tubuh dan
penampilannya. Bagi
mereka, tubuh perempuan adalah
komoditi yang
menghasilkan modal
dan menumpuk pundi-
pundi. Ia menjadi
wacana untuk bersenang-senang,
dinikmati,
dipertontonkan, bahkan
diperjual belikan
layaknya barang
dagangan. Nilai tukarnya bergantung
pada standar pasar. Dan
perempuan pun harus
merelakan tubuhnya
dikuasai oleh kekuatan
di luar dirinya, yaitu pemilik modal'. (lihat
Klethus Badhick,
Wacana Tubuh
Perempuan, hal. 14-15).
Wassalam,
Tim Mode IsDi
Read More......
Rabu, 04 Januari 2012
Diponegoro: Pangeran Santri Penegak Syariat Bag. II
Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan
negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden.
Total orang jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh. Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jurbahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia. (***)
Penulis: Ir. Arif Wibowo (Mahasiswa Magister Pemikiran Islam- Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Sumber : www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=119:diponegoro-pangeran-santri-penegak-syariat&catid=16:sosok&Itemid=14
Read More......
Diponegoro: Pangeran Santri Penegak Syariat Bag. I
“Sebagai seorang yang
berjiwa Islam, ia sangat
rajin dan taqwa sekali
hingga mendekati
keterlaluan” (Louw
dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830) Pangeran Diponegoro
lahir pada 1785. Ia
putra tertua dari Sultan
Hamengkubuwono III
(1811 – 1814). Ibunya,
Raden Ayu Mangkarawati,
keturunan Kyai Agung
Prampelan,
Bila ditarik
lebih jauh lagi,
silsilahnya sampai pada
Sunan Ampel Denta,
seorang wali Sanga dari
Jawa Timur. Dalam bukunya, Dakwah
Dinasti Mataram, Dalam
Perang Diponegoro, Kyai
Mojo dan Perang Sabil
Sentot Ali Basah, Heru
Basuki menyebutkan, bahwa saat masih
kanak-kanak,
Diponegoro diramal
oleh buyutnya, Sultan
Hamengkubuwono I,
bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang
merusak orang kafir.
Heru Basuki mengutip
cerita itu dari Louw,
P.J.F – S Hage – M
nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897,
Derde deel 1904, De
Java Oorlog Van 1825 –
1830 door, hal. 89. Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung. Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani
menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan,
Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29). Dalam Babad
Cakranegara
disebutkan, adalah
Diponegoro sendiri
yang menolak gelar
putra mahkota dan merelakan untuk
adiknya R.M Ambyah.
Latar belakangnya,
untuk menjadi Raja
yang mengangkat
adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin
dimasukkan kepada
golongan orang-orang
murtad. Ini merupakan
hasil tafakkurnya di
Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah
Dinasti Mataram:
“Rakhmanudin dan kau
Akhmad, jadilah saksi
saya, kalau-kalau saya
lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad
tak mau dijadikan
pangeran mahkota,
walaupun seterusnya
akan diangkat jadi raja,
seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri
tidak ingin. Saya
bertaubat kepada
Tuhan Yang Maha Besar,
berapa lamanya hidup
di dunia, tak urung menanggung dosa
(Babad Diponegoro, jilid
1 hal. 39-40). Perang besar Dalam bukunya,
Beberapa Aspek
Tentang Islam di
Indonesia Abad ke 19,.
Kareel A. Steenbrink,
mencatat, sebagian besar sejarawan
menurut Steenbrink
meyepakati bahwa
perang Dipnegoro lebih
bersifat perang anti
kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1.
Wilayah kraton yang
menyempit akibat
diambil alih Belanda, 2.
Pemberian kesempatan
kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3.
Kekurang adilan di
masyarakat Jawa 4.
Aneka intrik di istana, 5.
Praktek sewa
perkebunan secara besar-besaran kepada
orang Belanda, yang
menyebabkan pengaruh
Belanda makin
membesar, 6. Kerja
paksa bukan hanya untuk kepentingan
orang Yogyakarta saja
tetapi juga untuk
kepentingan Belanda. Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.” Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun
Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)). Kareel A Steenbrink menyebutkan,
pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.
Bersambung Ke bag. II
Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)