Kerangka Pemikiran
Aswaja memiliki pendirian yang jelas tentang
kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak
menolak akal dan tidak juga mengagungkannya
lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu
dan akal menjadikan peradaban Islam yang
terbangun mampu berkembang pesat di
Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika,
Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan
banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-
ulama yang mumpuni. Prinsip ini adalah
pemaduan antara teks dan konteks, antara
wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga
tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi,
insani dan ilahi, sains dan agama. Segala
sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang
benar dan wajar.
Aswaja juga memadukan antara kekuatan
rohani, aqli dan jasadi (material).Teks-teks
aqidah juga membahas persoalan karamah para
wali, kedudukan mereka di sisi Allah,
kemungkinan para ulama yang benar
mendapatkan ilham dan diberikan ilmu yang
tidak diberikan kepada orang biasa meskipun
mereka tidak ma’sum. Juga dijelaskan
kedudukan mereka yang istimewa sebagai
pewaris para nabi.
Ulama Aswaja juga tidak memisahkan antara
agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka
melihat persoalan politik dan pemerintahan
tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika
agama tidak diberikan perhatian dalam
membangun kepribadian Muslim. Aswaja
menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan
al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap
ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani.
Ketika para ulama Aswaja mempunyai pendirian
yang tegas terhadap golongan sesat -- karena
jelas kesesatannya -- pada saat yang sama,
mereka mengambil pendekatan yang tasamuh
(berlapang dada) terhadap perbedaan-
perbedaan di dalam kalangan Sunni itu sendiri.
Aswaja membedakan persoalan-persoalan
tsawabit (yang tetap) dengan persoalan
mutaghayyirat (yang berubah), yang muhkamat
(jelas) dan mutasyabihat (tidak jelas).
Dalam perkara yang tsawabit, karena teksnya
jelas (qath’i) dan tidak mengundang khilaf
antara ulama, mereka harus bersepakat dan
tidak boleh berbeda pendapat dari segi
prinsipnya. Namun dalam perkara yang
mutaghayyirat, yang memerlukan penafsiran,
para ulama bergantung dengan kemampuan
dan kefahaman masing-masing. Mereka boleh
berbeda dan tidak sewajarnya memaksakan
pendapat terhadap orang lain, khususnya jika
pandangan orang lain itu memiliki dasar yang
juga kuat untuk berbeda pendapat.
Disinilah perbedaan ( ikhtilaf ) menjadi rahmat,
dan ijtihad masing-masing ulama mendapat
pahala yang baik di sisi Allah, asalkan dilakukan
dengan penuh tanggungjawab dan amanah
ilmiah. Pandangan mereka harus diterima dan
ditolak mengikut kekuatan hujah masing-
masing. Keterbukaan ini sewajarnya dapat
menghindarkan umat Islam dari perangkap
fanatisme, ta’assub dan berfikiran sempit
sehingga cenderung mudah menyesatkan
saudaranya seiman.
Ketika umat Islam gagal memahami dengan baik
Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan
kebingungan dalam menghadapi tantangan
modern dan postmodern. Sepanjang sejarah,
prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan
gagasan-gagasan besar (great powerful ideas)
dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali,
Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat
sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks
Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi
(filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik,
filsafat sejarah yang unik dan terbaik,
sebagaimana peran yang dimainkan di masa
lalu.
Memahami sejarah dan pemikiran Islam klasik
semacam ini sangat penting sebagaimodal untuk
menghadapi tantangan pemikiran saat ini.
Sarjana-sarjana besar, seperti Dr. Muhammad
Iqbal, sering mengingatkan agar umat Islam
melihat sejenak ke belakang untuk dapat maju
ke depan. Ada kaidah dan rumusan yang telah
diwariskan generasi awal (al-salaf al-shaleh)
yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi
tantangan masa kini dan masa depan. Sebab,
sejarah sebenarnya sering berulang dengan
aktor-aktor yang berbeda. Dan orang yang
cerdas adalah yang dapat mengambil pelajaran
dari masa lalu. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
sumber : http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=304:prinsip-dan-ukhuwah-ahlus-sunnah-wal-jamaah&catid=21:sejarah&Itemid=19
Selasa, 20 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar