Halaman

Kamis, 19 Januari 2012

Hikmah / KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT ...
 Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.”  
Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”


Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.” 

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.” 

Makna Berkah
Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun. 
Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. 

Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini. 

Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya. 
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?” 

Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.  
Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’ 

Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan per

Tidak ada komentar:

Posting Komentar