Halaman

Selasa, 29 November 2011

Worldview Koruptor

Worldview Koruptor WEDNESDAY, 16
NOVEMBER 2011

WRITTEN BY HAMID
FAHMY ZARKASYI

Beberapa bulan lalu
sebuah dialog di televisi
swasta membahas
perilaku korupsi
penegak hukum dan
koruptor. Hadir dalam acara itu para guru
besar dibidang hukum
dan advokat. Yang
muncul disitu
pertanyaan mengapa
hakim dan jaksa korupsi? Padahal
mereka adalah penegak
hukum dan sangat luas
ilmu hukumnya. Mereka
adalah pejabat yang
tinggi tanggung jawabnya. Host acara itu lalu
mengarahkan
pertanyaan itu kepada
para guru besar: Apa
yang Bapak ajarkan
pada mereka sehingga mereka itu korupsi?
Para guru besar itupun
bersungut-sungut lalu
menjawab “tidak ada
yang salah dalam mata
kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya?
Mengapa demikian
dst..dst. menjadi
kompleks. Mungkin jika pakar
bidang administrasi
Negara hadir dia akan
menuding undang-
undang yang lemah.
Pakar ekonomi akan mengkritik gaji
pegawai yang rendah.
Advokat akan berkilah
korupsi atau tidak itu
tergantung pasalnya.
Para sosiolog atau psikolog akan mungkin
lebih tegas “orang
korupsi karena mental
pegawai”. Dibalik layar
sayup-sayup para
koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”.
Itulah realitas bangsa
ini. Pendapat-pendapat
diatas tentu subyekif.
Namun semua pasti
sepakat jika perbuatan
korupsi didahului oleh
pikiran yang korup. Orang pasti berfikir
sebelum berbuat.
Pikiran manusia itulah
sebenarnya yang
disebut worldview.
Definisinya adalah cara pandang orang
terhadap hidup dan
kehidupan. Pandangan
orang terhadap makna
realitas dan makna
kebenaran (Naquib al- Attas). Pikiran yang
menjadi motor
perbuatan (Alparslan). Dari perspektif agama
worldview adalah
kepercayaan pada
Tuhan beserta segala
implikasi dan
konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab
seperti ditegaskan
Thomas Wall:
“kepercayaan pada
Tuhan adalah inti dari
semua worldview”. Artinya kalau orang itu
benar-benar percaya
pada Tuhan dibalik
harta ada rezeki, dibalik
kekuasaan ada amanah,
dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau
orang percaya pada
Tuhan, ia pasti yakin
bahwa baik-buruk,
salah-benar, harta-
rezeki berasal dari Tuhan. Itulah
worldview. Jika orang itu tidak
percaya pada Tuhan,
harta adalah harta. Di
balik harta tidak ada
apa-apa. Dari mana
asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak
penting. Yang penting
setiap orang harus
bertahan hidup. Hidup
dengan segala cara asal
tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan
setelah itu selesai.
Perbuatan di dunia
hanya akan berakibat di
dunia. Ukuran baik-
buruk, salah-benar adalah manusia
penentunya. Itulah
worldview koruptor. Tapi masalahnya
mengapa orang
beragama masih juga
korupsi? Jawaban
lumrah tentu ia korup
bukan karena perintah agamanya. Menurut
sabda Nabi tidak ada
orang mencuri dan pada
saat yang sama dia
beriman (al-Hadith).
Lalu apakah keimanan orang tidak dapat
mencegahnya dari
perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh
kompleks. Agama hanya
dianggap sebagai dogma. Beragama
berarti menjalankan
ritual semata. Masjid,
gereja dsb adalah
tempatnya. Di ruang
publik agama tidak boleh angkat bicara.
Porno atau tidak porno
t idak boleh diukur dari
agama. Ambisi
berpolitik tidak boleh
dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi
dicampur istighatsah. Disaat agama
dikerdilkan, dan ketika
keberagamaan
dimarginalkan hasrat
menjadi kaya raya
merupakan tujuannya. Worldview pemeluk
agama diisi oleh cara
pandang materialistis,
hedonistis, pragmatis,
empirisistis, dan
rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok
arah hidup pemeluk
agama-agama. Cinta
harta merasuki rongga-
rongga pikiran para
pemeluk agama. Begitulah worldview
pemeluk agama
dikuasai worldview
sekuler. Akibatnya mind-set
mereka berubah. Agar
menjadi kaya dan hidup
enak di dunia orang
harus meninggalkan
moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap
bertahan pada
keimanan agamanya
dianggap bodoh dan
tidak cerdas. Ketika saya berkunjung
kembali ke Inggeris,
Maret 2010, di
Nottingham saya
mendengar berita
menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster
University, Irlandia
Utara, Professor
Helmuth Nyborg dari
Universitas Aarhus,
Denmark dan Professor John Harvey Sussex,
Inggeris, menerbitkan
hasil riset mereka. Riset
itu dilakukan di 137
negara di dunia,
termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya
mengkaji sebuah
hypothesis adanya
korelasi negatif antara
IQ dan Iman.
Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh
seseorang itu ia
semakin religius
dan semakin cerdas
seseorang orang itu ia semakin sekuler dan
bahkan atheist. Bukan hanya itu
Verhage (1964) dan Bell
(2002) di Belanda,
Kanazawa (2009) di
Amerika Serikat
memperoleh hasil serupa. Dari mereka
bertiga ini sekurangnya
diperoleh empat
temuan. Pertama ada
hubungan korelasi
negative antara kecerdasan dan
keimanan. Kedua, orang
elit yang cerdas
semakin kurang religius
dibanding penduduk
secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar
semakin berumur dan
semakin berilmu
semakin turun
keimanan mereka.
Keempat, sepanjang abad dua puluh
meningkatnya
masyarakat yang cerdas
diikuti oleh
menurunnya keimanan.
Implikasi dari hypothesis diatas jelas,
orang cerdas adalah
yang meninggalkan
agamanya. Tapi
masalahnya apakah
orang tidak beragama itu karena saking
cerdasnya? Jika
jawabnya iya, maka
matrik kecerdasannya
itu hanya sebatas
masalah dunia. Apakah orang yang taat
beragama dan pada
saat yang sama bisa
hidup makmur di dunia
tidak bisa dianggap
lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja. Dr.David Rosmarin,
psikiatri Rumah Sakit
McLean di
Massachussetts menulis
paper. Disitu
disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan
cenderung lebih tenang
dan tidak gelisah
menghadapi hidup yang
serba tidak pasti. (Lihat
International Herald Tribune, 19 Oktober
2011, hal.8). Tentu
dibanding orang yang
tidak percaya Tuhan.
Jika demikian maka
benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu)
adalah orang yang
bekerja di dunia untuk
tujuan akherat”. Wallau
A’lam

Sumber, http://insistnet.com
Disadur oleh : Islam-Dialog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar