Halaman

Jumat, 26 Maret 2010

Khazanah/( Profil tokoh Islam )

Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari
Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari (Bahasa Arab ابو
الحسن بن إسماعيل اﻷشعري )(lahir: 873- wafat: 935), adalah
seorang pemikir muslim pendiripaham Asy'ari.
Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di
Baghdad. Asy'ari sempat berguru pada guru Mu'tazilah
terkenal, yaitu al-Jubba'i, namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari
paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang
kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Banyak tokoh pemikir
Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujatul Islam" Imam
Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/
ushuludin.


Walaupun banyak juga ulama yang menentang
pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang
mengikuti pemirannya. Orang- orang yang mengikuti/
mendukung pendapat/faham imam ini dinamakan kaum/
pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama
imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim
banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan
dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu
Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-
sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang
banyak diajarkan di pesantren- pesantren yang berbasiskan
Nahdlotul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada
umumnya.

Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hasan_al-Asyari

1 komentar:

  1. Menyimpulkan suatu pemikiran, ide, faham baru (mutaakhirin) adalah merupakan bagian dari pemahaman yang lama/terdahulu (mutaqoddimun) tentu bukanlah sekedar didasari lontaran klaim semata ataupun fanatisme terhadap pengusung faham baru tersebut. Tentu haruslah ada proses komparasi antara pemikiran mutaakhirin dengan mutaqoddimun. Apakah pemikiran mutaakhirin itu sama dengan yang telah dihasilkan mutaqoddimun, ataukah sebaliknya.

    Tentu setelah proses komparasi ini dijalankan dan mengrucut pada satu kesimpulan. Maka, sebagai tanggungjawab ilmiah lah kita harus mendudukkan secara proporsional. Kalaulah pemikiran mutaakhirin itu sama dgn kesimpulan mutaqoddimun maka barulah kita bisa menyebut bahwa pemikiran mutaakhirin itu adalah bagian dari mutaqoddimun dan begitupula sebaliknya.

    Hal ini pula berlaku untuk mazhab2 ilmu kalam seperti Asy'ariyyah ini.

    Pertanyaan yang mendasar yang perlu diujikan pada Asy'ariyyah adalah:

    Bagaimana pandangan Asy'ariyyah
    tentang shifât wa af‘âl (sifat dan perbuatan Allah), fawqiyyatu'llâh (kemahatinggian Allah), Takdir dan af‘âlu'l ‘ibâd, hakekat keimanan, serta tentang mukjizat dan bukti kenabian.

    Setelah kita mengetahui dengan pasti dan jelas pandangan-pandangan asy'ariyyah mengenai permasalahan mendasar diatas. Maka kita bisa mengkomparasikan pandangan2 tersebut dengan pandangan2 Ijma' para Mutaqoddimun (dalam hal ini pandangan para Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut tabi'in dan atba' tabi'it tabi'in serta murid-murid utama mereka).

    Sebab para Mutaqoddimun inilah yang disebut generasi terbaik dalam agama ini dan merekalah generasi yang paling otoratif dalam menjelaskan pemahaman mengenai agama ini. Mereka pulalah yang disebut sebagai Aimmah Ahlul Sunnah wa'l Jama'ah.

    Setelah begini, maka kita akan mendapati kesimpulan yang terang dan bisa menyimpulkan apakah asy'ariyyah itu termasuk ahlul sunnah wal jama'ah ataukah bukan.

    BalasHapus